Minggu, 28 Maret 2010

Perbandingan Tafsir Al-Azhar dengan Al-Misbah Tentang Kisah dalam surat al-kahfi ayat 60-82

Minggu, 28 Maret 2010 |
ANALISA PERBANDINGAN

A. Pemaparan Alur Cerita
Berbicara tentang kisah berarti berbicara tentang rentetan sebuah kejadian atau peristiwa. Alur cerita dari kisah perjalanan Nabi Mûsâ dengan ‘Abdun Shaleh, yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-kahfi ayat 60 sampai ayat 82 adalah sebagai berikut :
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا (60) فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا (61) فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ ءَاتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا (62) قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا (63) قَالَ ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلَى ءَاثَارِهِمَا قَصَصًا (64) فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا ءَاتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا (65) قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا (66) قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا(67) وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا (68) قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا (69) قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا (70) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا (71) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (72) قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرًا (73) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا لَقِيَا غُلَامًا فَقَتَلَهُ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا (74) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا(75) قَالَ إِنْ سَأَلْتُكَ عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا فَلَا تُصَاحِبْنِي قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَدُنِّي عُذْرًا(76) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا (77) قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (78) أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا (79) وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا (80) فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا (81) وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا(82)

Artinya: 60. Dan (ingatlah) ketika Mûsâ berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun".61. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.62. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Mûsâ kepada muridnya: "Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini".63. Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali."64. Mûsâ berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.65. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.66. Mûsâ berkata kepada Khidhir: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" 67. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.68. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"69. Mûsâ berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".70. Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu". 71. Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhir melobanginya. Mûsâ berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.72. Dia (Khidhir) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku"73. Mûsâ berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".74. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhir membunuhnya. Mûsâ berkata: "Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar".75. Khidhir berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" 76. Mûsâ berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku".77. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhir menegakkan dinding itu. Mûsâ berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu".78. Khidhir berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.79. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.80. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mu'min, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.81. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).82. Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".

Kisah merupakan rentetan sebuah kejadian, ketika memaparkan alur sebuah kisah berarti menjelaskan bagaimana tahap demi tahap kronologis kejadian yang diceritakan dalam kisah tersebut. Agar lebih mudah melihat dimana perbedaan dan persamaan pemaparan alur cerita, kisah perjalanan Nabi Mûsâ dengan hamba shaleh dalam penafsiran Hamka dan Quraish Shihab maka ini bisa kita lihat melalui tabel berikut ini..
Hamka Quraish Shihab
1. Dalam menafsirkan kisah perjalanan Nabi Mûsâ yang terdapat dalam surat al-Kahfi ayat 60-82, Hamka memberi judul dan mengelompokkan ayat-ayat tersebut dalam :petema, ayat 60-64 Nabi Mûsâ Pergi Berguru (1), kedua, ayat 65-82 Nabi Mûsâ Pergi Berguru (II), dalam menafsirkan ayat-ayat tentang Nabi Mûsâ berguru (II) beliau juga membagai ayat-ayat tersebut ke dalam beberapa kelompok ayat yaitu : ayat 65-73, ayat 74-78, ayat 79-82, tanpa memberi judul.
2. Awal kisah perjalanan Nabi Mûsâ, oleh Hamka diambil dari sebuah hadis yang sanadnya, dirawikan oleh Bukhâri diterima dari Qutaibah bin sa’id dari Sufyan bin ’Uyaynah dari Umar bin Dinar dari Sa’id Bin Jubair, dia menerima dari Ibn ’Abbâs.
3. Menurut Hamka perkataan Nabi Mûsâ ketika ditanya dalam berpidato, ”Siapakah manusia yang paling pandai?” Beliau menjawab: ”Aku.” mendapat teguran dari Allah. Lalu Allah berfirman kepadanya, bahwa bukanlah dia yang paling pandai di zaman itu. Ada lagi orang yang lebih pandai dan lebih alim dari dia. orang itu berdiam di suatu tempat di pertemuan di antara dua lautan.
4. Nabi Mûsâ bertanya kepada Tuhan: ”Ya Tuhanku, bagaimana caranya aku dapat menemui orang itu?”
5. Maka Allah memerintahkan kepada beliau supaya berangkat ketempat peremuan dua laut dengan membawa bekal yang disertai dengan ikan dalam suatu jinjingan.
6. Nabi Mûsâ pergi dengan di dampingi oleh seorang anak muda yang selalu menjadi pengawal keamanan dia pergi. menurut satu riwayat Bukhâri dari Sufyan Bin Uyaynah pemuda itu adalah pengiring Mûsâ yang terkenal yang kelak akan meneruskan tugas beliau yaitu Yusya’ bin Nun .
7. Setelah lama berjalan Mûsâ sampai didekat pertemuan dua laut. Lalu mereka pun menghentikan perjalanannya dan Mûsâ pun tertidur karena lelah.
8. Ikan yang dalam jinjingan yang dibawa oleh Yusya’. Yusya’ pun merasa letih kemudian dia pun melepaskan lelahnya. Tiba-tiba dengan tidak disangka-sangka ikan yang ada dalam jinjingan itu melompat dari dalam jinjingan.
9. setelah melepas lelah mereka melanjutkan perjalanan kembali. Setelah melewati tempat berhenti mereka tadi, perut sudah terasa lapar. Mûsâ memintak Yusya’ bin Nun untuk menyiapkan makanan.
10. Yusya’ ingat kalau ikan tersebut meluncur dari dalam jinjingannya, merayap ke atas tanah lalu dengan cepat sekali ia meluncur ke laut, waktu di tempat pemberhentian tadi dan ia lupa menceritakan kejadian itu kepada Mûsâ.
11. Maka keduanya pun kembali ke tempat itu, dengan melalui jejak-jejak kaki mereka yang telah terkesan di pasir
12. Maka mereka bertemu dengan seorang yang dapat segera dikenalinya walaupun baru sekali bertemu.
13. Mûsâ melanjutkan perjalanan bersama dengan gurunya, pergi keseberang laut sana, menumpang pada sebuah perahu.
14. Khidir membuat lobang pada perahu itu, lalu Mûsâ bertanya: ”apa sebab engkau lobangi dia yang akan menyebabkan semua penumpangnya tenggelam, termasuk engkau dan aku
15. Dia berkata: bukankah telah aku katakan kepadamu, bahwa engkau tidak akan sanggup bersabar bersama aku. Mûsâ mengakui terus terang bahwa dia telah lupa dengan janjinya, kemudian dia minta maaf.
16. Maka mereka meneruskan perjalanan sehingga bertemu dengan anak muda-muda yang sedang bermain, di antara anak muda-muda yang sedang bermain bersuka ria itu, kelihatan oleh guru itu seorang di antara mereka, maka tanpa banyak tanya lansung dibunuhnya anak tersebut.
17. Maka Mûsâ pun bertanya, apakah patut engkau bunuh satu jiwa yang masih bersih dengan tidak ada sebab dia membunuh orang.
18. Dia menjawab sejak awal engkau menyatakan ingin menggabungkan diri dengan daku telah aku katakan ”sungguh engkau tidak akan sanggup bersabar bersama aku”.
19. Mûsâ kembali teringat dengan janjinya, lalu dia berkata: ”Jika aku berbuat kesalahan memungkiri janjiku sekali lagi, sudah sepantasnya aku tidak boleh lagi ikut bersama kamu karena uzur yang engkau berikan kepada aku sampai tiga kali sudah lebih dari cukup.
20. Keduanya pun melanjutkan perjalanan, sehingga sampai keduanya pada penduduk suatu kampung. Mungkin karena perjalan itu sudah sangat jauh, dan persedian makanan pun sudah habis, dan keduanyapun sudah sangat lapar, mereka meminta jamuan kepada penduduk negeri itu, karena penduduk negeri itu memiliki budi yang kurang baik serta bakil, sehingga mereka tidak mau memberi makan.
21. Mereka mendapati dinding rumah yang hendak roboh, segera ditumpilkan oleh guru tersebut, sehingga berdiri kembali, melihat perbuatan guru itu Mûsâ berkata: ”jika engkau minta upahnya, sekurangnya dengan makanan untuk kita berdua, agar bisa menghilangkan kelaparan kita.
22. Dia berkata: selesailah sampai di sini. Kita sudah mesti berpisah, engkau di ikat oleh janjimu sendiri, jika bertanya sekali lagi, aku tidak akan membawamu dalam perjalanan ini.
1. Quraish Shihab dalam menafsirkan kisah Nabi Mûsâ dalam surat al-Kahfi, beliau membaginya kedalam beberapa kelompok ayat, yaitu: ayat 60-61, ayat 62-64, ayat 65, ayat 66-68, ayat 69-70, ayat 71-73, ayat 74-75, ayat 76-77, ayat 78-79, ayat 80-81, dan ayat 82.
2. Awal kisah perjalanan Nabi Mûsâ dengan hamba shaleh ini, diambil oleh Quraish Shihab dari hadis Rasul saw. yang diriwayatkan oleh Imâm Bukhâri melalui jalur sanad Hamid dari Sufyan dari Umar bin Dinar dari Sa’id bin Jubair dari sahabat Nabi saw. Ibn ’Abbâs.
3. Menurut Quraish Shihab latar belakang kisah perjalanan Nabi Mûsâ ini adalah karena ketika Nabi Mûsâ tampil berkhutbah di depan Banî Isrâil, lalu ia ditanya, ’Siapakah yang lebih dalam ilmunya?’ Mûsâ menjawab, ’Saya.’ pernyataan Nabi Mûsâ tersebut mendapat kecaman dari Allah.
4. Lalu Allah mewahyukan kepadanya bahwa: ’Aku mempunyai seorang hamba yang berada di pertemuan dua lautan. Dia lebih mengetahui daripada engkau.’
5. Nabi Mûsâ as. bertanya, ’Tuhan, bagaimana aku dapat bertemu denganya?’
6. Allah berfirman, ’ambillah seekor ikan, lalu tempatkan ia di wadah yang terbuat dari daun kurma lalu ditempat mana engkau kehilangan ikan itu, maka disanalah dia’.”
7. Nabi Mûsâ as. kemudian beranjak untuk menemui hamba Allah itu sambil membawa seorang pembantu dan makanan serta seekor ikan yang telah mati – boleh jadi telah dimasak – karena ia ditempatkan di wadah seperti terbaca di atas baru ketahuan hilangnya ketika mereka akan makan siang.
8. Perjalanan Nabi Mûsâ dengan pembantunya itu agaknya sudah cukup jauh walaupun belum sampai sehari semalam, Nabi Mûsâ minta untuk disiapkan bekal makanan mereka.
9. Pembantunya berkata: ”tahukah engkau wahai guru yang mulia bahwa tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi sungguh aku lupa untuk mengingat ihwal ikan itu mengambil jalannya ke laut, sungguh ajaib sekali bagaiman dia bisa mencebur ke laut. Dari ucapan pembantu Nabi Mûsâ as. di atas tidak ditemukan petunjuk yang kuat tentang hidupnya ikan dan melompat ke laut. Boleh jadi sewaktu mereka beristirahat di batu yang disinggung di atas – yang letaknya di pinggir pantai atau di atas laut – pembantunya meletakkan bekal makanan termasuk tersebut di atas batu itu lalu dia lupa mengambilnya atau tersenggol sehingga ia terjatuh dan dibawa arus ketengah laut.
10. Mûsâ berkata, itulah tempat atau tanda yang kita cari.
11. Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula. Perjalan kembali ke tempat hilangnya ikan.
12. Ketika sampai di tempat ikan itu mencebur ke laut, mereka bertemu dengan seorang hamba mulia lagi taat.
13. Dalam pertemuan kedua tokoh tersebut Mûsâ berkata kepadanya, bolehkah aku mengikutimu secara bersungguh-sungguh, supaya engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari ilmu-ilmu yang telah diajarkan Allah kepadamu untuk menjadi petunjuk bagiku menuju kebenaran, dia menjawab sungguh engkau wahai Mûsâ sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku, karena peristiwa yang engkau jalani bersamaku, akan membuatmu tidak sabar.
14. Nabi Mûsâ berkata, ’engkau insyâ’ Allah akan mendapati aku sebagai seorang penyabar’.
15. Dia berkata, ”jika engakau mengikutiku secara bersungguh-sungguh, maka seandainya engkau melihat hal yang tidak sejalan dengan pendapatmu atau bertentangan dengan apa yang engkau ajarkan, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, yang aku kerjakan atau aku ucapkan sampai tiba waktunya aku sendiri yang akan menerangkannya kepadamu. Demikianlah hamba yang shaleh itu menetapkan syarat keikut sertaan Nabi Mûsâ.
16. Setelah usai pembicaraan pendahuluan, dan masing-masing telah menyampaikan serta menyepakati kondisi dan syarat yang dikehendaki, Mûsâ dan hamba Allah yang shaleh itu menelusuri pantai untuk mengendari perahu, hingga tatkala keduanya menaiki perahu, hamba Allah yang shaleh itu melubanginya.
17. Dia berkata petanda tidak setuju, ”apakah engkau melubanginya sehingga dapat mengakibatkan engkau akan menenggelamkan penumpangnya?
18. Dia berkata, bukankah aku telah berkata, ’sungguh engkau sekali-kali tidak akan mampu sabar ikut dalam perjalanan bersamaku’?”
19. Mûsâ berkata, ”maafkanlah aku atas keterlanjuran yang disebabkan oleh kelupaanku terhadap janji yang telah aku berikan kepadamu, janganlah engkau bebani aku dalam keinginan dan tekadku mengikutimu dengan kesulitan yang tidak dapat kupikul”.
20. Hamba Allah yang shaleh itu memperkenankan permohonan maaf Nabi Mûsâ.
21. Mereka berjalan hingga tatkala keduanya bertemu dengan seorang anak remaja yang belum dewasa, maka serta merta hamba Allah yang shaleh itu membunuh remaja tersebut.
22. Mûsâ berkata, ”mengapa engkau membunuh seorang yang memiliki jiwa yang suci dari kedurhakaan? Apakah engkau membunuh tanpa dia membunuh satu jiwa orang lain? Sungguh engkau telah melakukan kemungkaran yang sangat besar.” dia berkata, ”bukankah aku telah berkata kepadamu secara khusus dan lansung untuk kedua kalinya bahwa ’sungguh engkau hai Mûsâ sekali-kali tidak akan mampu sabar ikut dalam perjalanan bersamaku’?”
23. Nabi Mûsâ sadar bahwa dia telah dua kali melakukan kesalahan, tapi tekadnya yang kuat mendorongnya bermohon agar diberi kesempatan terakhir. Untuk itu dia berkata, ”jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah ini maka aku rela dan dapat mengerti jika engkau tidak menemaniku lagi. Karena telah dua kali aku melanggar dan engkau telah dua kali pula memaafkanku”. Permintaan ini masih dikabulkan oleh hamba yang saleh itu.
24. Setelah peristiwa pembunuhan itu keduanya berjalan lagi untuk kedua kalinya, hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka berdua minta agar diberi makan oleh penduduk negeri itu tetapi mereka enggan menjadikan mereka berdua tamu, maka segera mereka berdua meninggalkan mereka dan tidak lama setelah meninggalnya, keduanya mendapati dalam negeri itu dinding sebuah rumah yang hampir roboh maka hamba Allah yang saleh itu menopang dan menegakkannya.
25. Mûsâ berkata, ”jikalau engkau maumengambil upah atas perbaikan atas perbaikan dinding sehingga dengan upah itu kita dapat membeli makanan.” dia berkata, ”inilah perpisahan antara aku denganmu”.
26. Namun demikian sebelum berpisah aku akan memberikan informasi yang pasti tentang makna dan tujuan di balik peristiwa yang engkau tidak dapat sabar atasnya.


Dalam pemaparan alur kisah ini tidak banyak perbedaan antara dua mufassir ini, perbedaan tersebut hanya terdapat pada beberapa hal, yaitu: pertama terjadi ketika mereka sampai di pertemuan dua laut, kalau menurut Quraish Shihab mereka hanya istirahat saja, tanpa menjelaskan bagaimana keadaan mareka, apakah sampai tertidur atau tidak tapi dalam penafsiran Hamka dinyatakan keadaan tersebut, bahwa mereka tertidur karena sangat lelah dalam perjalanan. Kedua, Hamka tidak menjelaskan dengan apa ikan yang telah mati tersebut itu dibungkus, dia menyebutkan bahwa ikan tersebut dibawa dengan menggunakan jijingan, sementara Quraish Shihab menyebutkan kalau ikan tersebut dibungkus dengan wadah yang terbuat dari daun korma. Ketiga, tentang hilangnya ikan yang dibawanya menurut, Quraish Shihab tidak ditemukan petunjuk yang kuat tentang hidup dan melompatnya ikan tersebut ke laut, boleh jadi sewaktu mereka beristirahat di batu yang disinggung di atas – yang letaknya di pinggir pantai atau di atas laut – pembantunya meletakkan bekal makanan termasuk tersebut di atas batu itu lalu dia lupa mengambilnya atau tersenggol sehingga ia terjatuh dan dibawa arus ketengah laut. Keempat Hamka menyebutkan bahwa anak yang dibunuh oleh hamba shaleh itu sedang bermain-main bersama temannya sementara Quraish Shihab tidak menjelaskan keadaan anak tersebut sebelum dibunuh oleh hamba Allah yang shaleh tersebut.

B. Penafsiran Tentang Ábdun Sholeh
Kisah perjalanan Nabi Mûsâ yang terdapat dalam surat al-Kahfi ayat 60 sampai 82 ini, penuh dengan misteri salah satu kemisteriusan kisah ini terdapat pada sosok hamba saleh, tokoh hamba saleh dalam kisah ini menjadi misteri karena tidak ada keterangan yang jelas dari al-Qur’an tentang siapa sebenarnya tokoh tersebut. Maka dalam skripsi ini kita akan mencoba melihat bagaimana penafsiran Hamka dan Quraish Shihab tentang hamba saleh tersebut.
Hamka Quraish Shihab
1. Ketika menafsirkan kata ‘Abdun Shaleh yang terdapat pada surat al-Kahfi ayat 66 Hamka lebih memilih untuk mengikuti pendapat jumhur-mufassirin, golongan terbesar dari ahli-ahli tafsir, mulai dari Ibnu Abbas sendiri sampai kepada ath-Thabari, dan sampai kepada Ibnu Kasir yang berpendapat bahwa hamba shaleh itu bernama Khidir.
2. Hamka memberikan informasi yang cukup panjang dan lebar tentang Khidir dalam tafsirnya. Menurut Hamka tidak ada kesepakatan pendapat tentang Khidir. Ada yang mengatakan bahwa dia itu Nabi! Ada pula yang berpendapat bahwa dia itu adalah seorang wali. Al-Mawadi dalam tasirnya mengatakan bahwa dia itu malaikat. Satu riwayat mengatakan bahwa maqamnya ialah dibawah kedudukan Nabi dan di atas kedudukan ash-Shidiq. Pendeknya di atas sedikit dari Abu Bakar, rendah sekit dari Nabi Muhammad. Khidir itu sendiri berarti hijau. Menurut satu riwayat dari mujahid, apabila dia sembahyang menjadi hijaulah rumput-rumput kering yang ada di sekeliling dia sembahyang itu. Maka macam-macamlah cerita orang tentang Nabi Khidir, ada golongan terutama dari kalangan kaum sufi yang mengatakan bahwa Khidir itu masih hidup, sampai sekarang. Katanya pula Nabi Khidir itu adalah anak langsung dari Nabi Adam dan Hawa yang tidak akan mati-mati. Baru dia akan mati setelah dia nanti membukakan kepalsuan Dajjal. Nabi Khidir adalah hamba Allah yang tidak kelihatan oleh mata biasa ini kecuali kepada orang yang diberi “kasyaf” oleh Allah Ta’ala. Yang lebih terkenal di kalangan kaum sufi adalah ceritera al-Imam Muhyiddin dan Ibnu ‘Arabi di dalam “Futuhat al-Makiyyah” bahwa dunia ini diatur oleh 9 orang Rijalul-gaib (orang-orang yang tidak kelihatan) yang disebut Wali-Quthub. Di antara yang sembilan itu ialah Nabi Khidir yang digelari juga Mudawil-Kulum (pengobat hati yang luka). Pimpinan dari orang sembilan itu disebut Ghauts. Arti yang asal dari Ghauts itu ialah hujan. Kalau kita minta apa-apa kepadanya, dia akan menurunkan rahmat kepada kita laksana hujan. Kata sebagian besar mereka ghauts itu ialah sayid Abdul Qadir Jailani. Maka Nabi Khidir itu menurut mereka masih di bawah dari Sayid Abdul Qadir. Menurut dongeng yang lebih kocak lagi ialah bahwa Nabi Khidir itu selalu ada di pintu Bab as-Salam di Mekkah. Rupanya dapat berobah-robah, sehingga tidak disangka orang bahwa itulah dia, kita tekan empu-jarinya tidak ada tulang. Orang menjadi “agak percaya” karena bertemu pula sebuah hadis (mauquf, dari sahabat Rasulullah s.a.w.) mengatakan bahwa seketika Rasulullah saw telah wafat, waktu orang tengah memandikan jenazah beliau yang mulia, kedengaran suara, sedang orangnya tidak kelihatan. Suara itu sebagai tazkiyah menunjukkan dukacita kepada ahlul-mait.
3. Pada akhir penafsirannya, Hamka memberikan pandangan, tentang bagaimana sebaiknya memahami cerita tentang Nabi Khidir yang penuh misterius tersebut seperti ungkapan yang menyatakan bahwa ’Khidir itu masih hidup’ menurut Hamka pernyataan ini tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak dapat dipertahankan menurut ajaran agama Islam:
a. Sabda Tuhan di dalam al-Qur’an (surat al-Anbiya’: 34)
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ.
Artinya: Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?
b. Kalau memang dia hidup terus, dan kalau memang dia anak kandung Nabi Adam dengan Hawa, niscaya ada agaknya seorang Nabi yang ditemuinya selain Mûsâ. Padahal dia hanya bertemu dengan Nabi Mûsâ a.s.
c. Riwayat Hadis yang mengatakan bahwa terdengar suara tazkiyah yang diyakini dilafazkan oleh khidir ketika orang memandikan jenazah Rasulullah yang mulia, tetapi sanad dari riwayat itu menunjukkan bahwa hadis itu tidak sah jalannya sanadnya. Abu Husain bin al-Munawi menegaskan: setelah saya selidiki tentang cerita Khidir itu apakah dia memang masih hidup atau sudah mati? Maka kenyataannya adalah bahwa kebanyakan orang yang tertipu mengatakannya dia masih hidup ialah karena berpegang kepada hadis itu. Padahal hadis-hadis yang marfu’ dalam hal itu semuanya wahiyah (lemah lebih lagi dari dha’if)
d. Imam Bukhari perawi hadis yang terkenal dan beberapa Ahlul-Hadis yang lain menegaskan bahwa Khidir itu telah mati.
e. Pengarang tafsir Fathul Bayaan berkata: “pernyataan yang benar ialah yang apa dikatakan oleh Bukhari dan yang sependapat dalam hal itu. Siapa pun yang mengatakan bahwa khidir itu masih hidup, kalau tidak ada sandarannya dari keterangan Allah dan Rasul yang mengatakan bahwa Khidir itu masih hidup, dan tidak ada pula hadis marfu’ yang akan dijadikan pegangan maka hal ini tidak dapat dipertanggungjawabkan dan harus ditolak”. Kenyataan keteranan Kitab dan Sunnah yang dapat kita fahami ialah bahwa tidak ada seorang manusia pun yang kekal hidup beratus tahun. Qur’an dan Sunnahlah yang menutup riwayat semacam itu, bukan riwayat semacam itu yang mesti membatalkan Qur’an dan Sunnah.
f. Abu Hayyan menyatakan dalam tafsirnya: “kalau benar ia masih hidup, dia mesti datang menghadap Nabi Muhammad saw sebab Nabi kita pernah berkata:
لََوْ كاَنَ مُوْسَى حَيًّا مَاوَسِعَهُ إِلاَّ اتِّبَاعِيْ
Artinya: “kalau Mûsâ masih hidup, tidak ada jalan baginya, melainkan menjadi pengikutku.”

Maka tidaklah ada bertemu sebuah hadis pun yang mengisyaratkan bahwa Khidir atau Nabi panjang umur melaporkan diri kepada Nabi Muhammad saw. Kalau Imam Bukhari sendiri yang menegaskan beliau telah mati, hadis mana lagi yang akan kita ambil untuk mengimbangi.
g. Ada juga ulama besar ternama mempercayai Khidir itu memang masih hidup, yaitu Imam Nawawi yang terkenal di dalam kitabnya “at-Tahdziib” kata beliau: “banyak orang mengatakan bahwa dia hidup, ada di antara kita”. Hal itu disepakati di antara ahli-hali sufiyah dan ahli-ahli yang shahih dan ahli ma’rifah. Dan cerita mereka itu tentang pernah melihat dia, berjabat tangan dengan dia, mengambil pelajaran dari dia, bertanya kepadanya dan bertemu dengan dia di tempat-tempat yang mulia sangatlah banyak sehingga tak terhitung lagi dan sudah sangat masyhur sehingga tak usah dikatakan lagi.
h. Tetapi ulama yang bersikap tegas dengan pendirian bahwa Khidir itu sekarang tidak ada lagi, hanya bertemu dengan Nabi Mûsâ satu kali dan mati di zaman itu ialah Ibnu Manawi, Ibrahim al-Harabi, Abu Thaher al-‘Ubbadi, Abu Ya’laa al-Hanbali, Abu Fadhl bin Nashir, al-Qadhi Abi Bakar Ibn al-‘Arabi, Abu Bakar an-Naqqasy, dan Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauzi. Ibnu Taimiyah malah mengatakan: “kalau ada orang yang mengatakan bahwa dia melihat Khidir, yang dilihatnya itu adalah Jin.” Dan beliau pun mengatakan bahwa tidak ada seorang pun dari sahabat Rasulullah saw yang mengatakan bahwa mereka ada bertemu dengan Khidir dan tidak ada pula riwayat mereka yang mengatakan bahwa ada orang yang mengaku dirinya Khidir datang menghadap Nabi. Sahabat-sahabat Nabi saw itu lebih alim dan lebih tinggi martabatnya, sehingga syetan tidak ada yang berani merupakan diri kepada mereka, kalau orang kebanyakan mungkin dapat demikian. Syetan datang memperlihatkan wujud seperti manusia dan berkata: “saya Khidir” dan dia berjanji hendak menolong orang itu, seperti ada juga orang yang mengaku dirinya didatangi oleh orang yang telah mati, berbicara dengannya, dan sanggup menolongnya untuk melepaskan hajatnya, orang menyangka bahwa yang dating tersebut benar-benar orang yang telah mati (mayat) tersebut, padahal yang dating tersebut adalah syetan yang menyerupakan diri seperti orang yang telah meninggal itu.
Setelah memberikan informasi tentang sosok misterius yang menurut sebagian mufassir bernama Khidir itu, sebagai penutup Hamka memberikan pandangannya, bahwa: “sudah berkali-kali umat Islam menghadapi percobaan yang besar-besar dan hebat di dalam sejarahnya selama 14 abad”. Yang sangat terkenal ialah seketika terjadi Perang Salib, tentara besar dari Bangsa Eropa pemeluk agama Kristen merebut Palestina dari tangan kaum muslimin, sehingga sampai 70.000 muslim yang dibunuh di sekitar al-Masjidil Aqsha. Namun tidak ada berita bahwa Khidir “Mudawil Kulum” dating membantu. Hanya usaha dari kaum muslimin juga yang dapat melepaskan diri mereka dari bahaya. Disamping itu terjadi pula masuknya bangsa Moghul menghancurkan Baghdad (656 H/1286 M). kota tersebut hancur, khalifah dibunuh dan berjuta kaum muslimin disembelih, namun Nabi Khidir tidak muncul. Kaum muslim telah terusir dari Spanyol tetapi Nabi Khidir juga tidak datang. Banyak lagi sejarah yang lain, Nabi Khidir diam seribu bahasa, bukan diam tetapi nabi Khidir itu tidak ada. Di zaman sekarang ini, yaitu di waktu kita hedak mengembalikan keyakinan beragama kita kepada ajaran Rasulullah saw yang sejati, cerita-cerita seperti Kisah Nabi Khidir dan yang menyerupai kisah tersebut sudah sepatutnya kita hapus. Tidaklah kita akan sesat dari ajaran agama kita, kalau dengan tegas kita katakan: “cerita bahwa nabi Khidir masih hidup dan tidak akan mati sampai kelak dapat mengalahkan Dajjal itu hanyalah dongeng yang hanya berlaku dalam fikiran yang masih gelap. Fikiran yang belum disinari oleh ilmu pengetahuan, atau oleh Ilmiah-Diniyyah. Ilmu pengetahuan keagamaan yang dapat dipertanggungjawabkan 1. Quraish Shihab ketika menafsirkan kalimat ‘Abdun Shaleh lebih memilih menafsirkan dengan kalimat hamba shaleh saja.
2. Qurasih Shihab hanya sedikit memberikan keterang tentang sosok misterius Khidir, menurut dia: banyak ulama yang berpendapat bahwa hamba Allah yang dimaksud di sini adalah seorang nabi yang bernama al-Khidir. Tetapi riwayat tentang beliau sungguh sangat beragam dan sering kali dibumbui oleh hal-hal yang bersifat irasional. Apakah beliau Nabi atau bukan, dari Bani Israil atau selainnya, masih hidup hingga kini atau telah wafat, dan masih banyak hal lain, kesemuanya dengan rincian pendapat yang bermacam-macam yang terdapat dalam banyak buku tafsir. Kata al-Khidir sendiri bermakna hijau. Nabi saw. bersabda bahwa penamaan itu disebabkan oleh karena suatu ketika ia duduk di bulu yang berwarna putih, tiba-tiba warnanya berubah menjadi hijau (HR. Bukhari melalui Abu Hurairah). Agaknya penamaan serta warna itu sebagai simbol keberkatan yang menyertai hamba Allah yang istimewa itu

Dalam menafsirkan kalimat ’Abdun Shaleh Qurish Shihab lebih cenderung menafsirkannya dengan kata Hamba Allah saja, hal ini dilakukan oleh Quraish Shihab menurut penulis lebih karena rasionalitas Quraish Shihab, karena tidak ada penjelasan dan keterangan yang lebih dari al-Qur’an tentang kisah ’Abdun Shaleh selain yang terdapat dalam surat al-Kahfi ini. Sedikitnya keterangan yang diberikan oleh Quraish Shihab tentang sosok misterius Khidir, menurut pendapat penulis dilatar-belakangi oleh beberapa hal, pertama: sesuai dengan nama tafsirnya, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an) maka dalam menafsirkan kisah ini Quraish Shihab lebih memfokuskan penafsirannya pada pengambilan pesan-pesan dan pelajaran yang dapat dipetik dari kisah perjalanan Mûsâ dengan hamba shaleh tersebut dan membiarkan sosok Khidir dengan segala kemisteriusannya, ini bisa kita lihat melalui komentar Quraish Shihab ”sebelum mengurai pesan dan kesan yang ditarik dari ayat-ayat kisah ini, ”baiklah terlebih dahulu kita merujuk kepada sekian ulama untuk menemukan keserasian ayat-ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya dan juga dalam komentarnya mengapa kisah yang dipaparkan oleh al-Qur’an ini tidak menyebutkan bagaimana awalnya”. Boleh jadi menurut Quraish Shihab karena tidak terlalu banyak pesan yang perlu disampaikan atau dikandung oleh awal kisahnya.” Kedua, disebabkan karena Quraish Shihab tidak terlalu dalam menggeluti ilmu tasawuf, sementara riwayat tentang Khidir dan segala kemisteriusannya lebih banyak dikalangan sufi. Ketiga karena perbedaan kondisi masyarakat yang dihadapi oleh Quraish Shihab tidaklagi tertarik untuk membahas masalah-masalah yang mistis seperti pada zaman Hamka.
Berbeda dengan Quraish Shihab, Hamka dengan pengetahuan yang cukup dalam tentang ilmu tasawuf. Walaupun menurut sebagian orang Hamka belum bisa disebut sebagai salah satu tokoh tasawuf, karena pemikiran Hamka dalam buku Tasawuf Modern yang berusaha mendudukan kembali tasawuf sebagai objek kajian ilmiah, dan wahana peribadatan yang mendekatkan seorang muslim kepada Allah, dengan memisahkannya dari akses-akses yang terjadi dalam penerapan, tidaklah mencerminkan ajaran tassawuf karena kedudukan tasawuf akan selalu berada di atas syari’at. Terlepas dari kontroversi tersebut, kita dapat melihat kapasitas keilmuan yang dimiliki oleh Hamka dalam bidang tasawuf, dengan luas dan banyaknya informasi yang diberikan oleh Hamka tentang sosok Khidir, yang mendapat tempat yang istimewa di kalangan ahli tasawuf. Di akhir penafsirnnya, Hamka memberikan pandangannya bagaimana sebaiknya memahami segala kabar atau cerita tentang sosok Khidir yang misterius itu. Ketiga, karena perbedaan situasi dan kondisi yang dialami oleh kedua mufassir ini ketika mereka menulis tafsirnya. Karena situasi dan kondisi akan mempengaruhi pola fikir mereka. Keempat, menafsirkan al-Qur’an merupakan suatu usaha untuk memberikan pemahaman tentang pesan-pesan yang disampaikan oleh Allah kepada masyarakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kondisi masyarakat yang dihadapi oleh Hamka mungkin masih tertarik untuk membahas dan membicarakan masalah-masalah yang bernuansa sufiistik sementara masyarakat yang dihadapi oleh Quraish Shihab tidak merasa tertarik lagi untuk membahas hal tersebut, sehingga nuansa penafsiran terhadap kisah ini pun menjadi berbeda.
C. Pelajaran dibalik Kisah
Kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an diyakini bukan hanya untuk menyampaikan tentang sejarah umat masa lalu saja tetapi lebih dari itu, kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an tersebut adalah untuk dijadikan sebagai pelajaran karena dalam kisah-kisah yang disampaikan oleh al-Qur’an banyak mengandung pesan-pesan moral untuk umat yang akan datang, demikian juga dengan kisah perjalanan Nabi Mûsâ dengan ‘Abdun Shaleh ini serat dengan pelajaran yang harus kita petik.

Hamka Quraish Shihab
1. Larangan untuk bersikap sombong
2. Anjuran bagi setiap pemuka, pemimpin dan manusia-manusia yang merasa memiliki tanggungjawab, agar melakukan studi banding, supaya kebenaran jangan hanya dipandang dari satu pihak saja.
3. Tata cara atau adab dalam menuntut ilmu yang harus dimiliki di antaranya keinginan yang kuat, dan keyakinan untuk menghadapi semua rintangan yang menghalangi
4. Kewajiban untuk menuntut ilmu bagi setiap muslim.
5. Larangan untuk menilai seseorang dari status sosialnya, karena kemulian tidak hanya didapat dari status sosial. Mûsâ seorang nabi yang mulia saja masih harus belajar kepada Khidir dalam hal ini sebagai seorang ‘alim atau ilmuwan maka menurut Hamka, bukan saja Mûsâ yang mesti mencari Khidir untuk menuntut ilmu dan menambah pengalaman, melainkan setiap setiap orang yang bertanggung jawab hendaklah mencari Khidir! Kadang-kadang Khidir itu memang tidak dikenal orang. Kadang-kadang ia tinggal di kampung yang jauh, di lereng bukit. Mungkin kita sendiri sering atau pernah mengalami pertemuan atau perkenalan dengan orang yang biasa-biasa saja, tidak dikenal, terpencil di dusun jauh, atau di lereng gunung, namun butir perkataannya penuh berisi hikmah yang benar. Dia bukan Profesor, namun kejernihan fikirannya dapat dijadikan pedoman hidup bagi kita yang sibuk. Kalau dipandang dari segi ini, bolehlah dikatakan bahwa Khidir itu selalu ada, tidak hanya satu orang, dan tidak mati, melainkan berganti-ganti. Asal pandai mencarinya dia akan bertemu.”
6. Kita jangan hanya melihat sesuatu secara lahirnya saja, yang tidak tampak pun harus kita perhatikan karena yang bathin atau yang tidak kelihatan, banyak terdapat makna dan pelajaran yang berharga 1. Setiap peristiwa yang terjadi dimuka bumi ini memiliki makna atau takwil, walaupun pada waktu terjadi peristiwa tersebut tidak terlihat, namun di suatu waktu akan kelihatan.
2. Larangan membantah pernyataan yang disampaikan oleh orang yang memang telah terbukti ahli dalam bidang tersebut, tanpa memiliki pengetahuan tentang hal tersebut.
3. Larangan berbantah-bantah atau diskusi yang tanpa dasar, serta mengharuskan siapa pun kepada tunduk kepada kebenaran jika telah dijelaskan dan terbukti
4. Mengajak kita untuk tidak membedakan orang hanya karena status sosialnya.
5. melihat Kisah Ini mengajarkan kepada kita agar tidak enggan duduk bersama dengan fakir miskin, bagaimana Mûsâ Nabi dan Rasul Yang memperoleh kemulian berbicara dengan Allah tidak enggan belajar dari seorang hamba Allah.
6. Setiap Hal yang lahir juga memeiliki sisi batiniahnya, yang mempunyai peranan yang tidak kecil bagi lahirnya hal-hal lahiriah.
7. Seorang pelajar harus memiliki tekad yang kuat dan bersungguh-sungguh untuk mencurahkan perhatian bahkan tenaganya, tehadap apa yang akan dipelajarinya.
8. Seorang pendidik, hendaknya menuntun anak didiknya dan memberi tahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu, bahkan mengarahkan anak didiknya untuk tidak mempelajari sesuatu yang tidak sesuai dengan bakat dan potensi yang dimiliki oleh anak didiknya .
9. Dalam mengucapkan sebuah janji kita tidak boleh melepaskan diri dari tuntunan syariat.
10. Adanya kebolehan untuk melakukan kemudharatan yang kecil guna untuk menghidari kemudharatan yang lebih besar.
11. Jangan melihat sesuatu hanya secara lahirnya saja karena pada sisi bathin atau yang tidak kelihatan, banyak terdapat makna dan pelajaran yang berharga.


Related Posts



0 komentar:

Posting Komentar


Mengenai Saya

Foto saya
Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
Smart, happy

Saca Firmansyah

Wilayah Pengunjung