Bulan Ramadhan adalah hiburan bagi setiap orang yang berdosa, peringatan bagi orang yang lupa, pendidikan bagi orang yang jahil, pemberi semangat bagi setiap orang yang beramal karena padanya dibuka pintu-pintu surga, dilipat gandakan pahala dan ibadah. Maka padanya, Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan mengharapkan pahala niscaya diampuni darinya dosanya yang terdahulu.
Karena motivasi ini, tidak heran kalau kita melihat orang berlomba-lomba beribadah mendekatkan diri kepada Allah. Namun, karena semangat yang tinggi, tapi tidak disertai cukup ilmu, sering orang tidak lagi selektif terhadap hadis-hadis yang berkaitan dengan amalan Ramadhan. Tanpa disadari sebagian yang diamalkan dan diyakini ada hadis-hadis palsu. Sebagian lain sanadnya sangat lemah sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Oleh sebab itu, sangat penting untuk diketahui hadis-hadis populer yang palsu dan lemah tersebut.
Hadis Seluruh Bulan adalah Ramadhan
لَوْ يَعْلَمُ اْلعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتيِ أَنْ يَكُوْنَ رَمَضاَنُ السَّنَةَ كُلَّهَا، إِنّ اْلجَنَّةَ لَتُزَيَّنُ لِرَمَضَانَ مِنْ رَأْسِ اْلحَوْلِ إِلىَ اْلحَوْلِ ...
“Seandainya hamba-hamba tahu apa yang ada di bulan Ramadhan pasti ummatku akan berangan-angan agar Ramadhan itu jadi satu tahun seluruhnya, sesungguhnya Surga dihiasi untuk Ramadhan dari awal tahun kepada tahun berikutnya….” Hadis ini panjang.
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 1886) dan dinukil oleh Ibnul Jauzi dalam Kitabul Maudhû’ât (Kitab tentang Hadis-Hadis palsu, 2/188-189) dan Abu Ya’la di dalam Musnad-nya sebagaimana pada Al-Muthalibul Âliyah (Bab A-B/manuskrip) dari jalan Jabir bin Burdah, dari Abi Mas’ud Al-Ghifari. Hadis ini Maudhû’ (palsu), atau setidaknya matruk (semi palsu) karena cacatnya pada Jabir bin Ayyub, riwayat hidupnya dinukil Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan (2/101) dan (beliau) berkata, “Terkenal dengan kelemahan (dha’if)” beliau juga menukil ucapan Abu Nu’aim tentangnya, “Dia itu suka memalsukan hadis.” Al-Bukhari juga berkata, “Hadisnya tertolak”, dan menurut an-Nasai, “Matrûk” (ditinggalkan/tidak dipakai hadisnya).” Pada matan hadis tersebut juga terdapat tanda-tanda kepalsuan.
Hadis Ramadhan Rahmat, Maghfirah, dan Bebas dari Api Neraka
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ، شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، جَعَلَ الله ُصِيَامَهُ فَرِيْضَةً وَقِيَامَ لَيْلَتِهِ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ اْلخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ ... وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ، وَوَسَطُهُ مَغْفِرَةٌ، وَآخِرَهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ ...
“Wahai manusia sungguh telah datang pada kalian bulan yang agung, bulan yang di dalamnya ada malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah menjadikan puasanya sebagai kewajiban, dan shalat malamnya sebagai sunnat. Barangsiapa mendekatkan diri di dalamnya dengan suatu perkara kebaikan maka dia seperti orang yang menunaikan suatu kewajiban pada bulan lainnya.. dialah bulan yang awalnya itu rahmat, pertengahannya itu maghfirah/ampunan, dan akhirnya itu ‘itqun minan naar/bebas dari neraka..” sampai selesai.
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al-Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fi Dhu’afa (6/512), Al-Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib (2/115). Hadis ini di dhaifkan oleh pakar hadis seperti Al-Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib, bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar-Razi dalam Al-‘Ilal (2/50) juga oleh Albani dalam Silsilah Adh-Dha’ifah (871) bahwa hadis ini munkar. Dua murid terpercaya Syeikh Al-Bani (wafat 2 Oktober 1999) yakni Syeikh Ali Hasan di dalam Sifatu Shaumin-Nabi (110) dan Syeikh Al-Hilaly mengemukakan, hadis itu juga panjang dan dicukupkan dengan membawakan perkataan ulama yang paling masyhur. Menurut murid ahli hadis ini, hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah juga, (no. 1887), dan Al-Muhamili di dalam Amali-nya (no 293) dan Al-Ashbahani di dalam At-Targhib (Q/178, B/ manuskrip) dari jalan Ali bin Zaid Jad’an dari Sa’id bin Al-Musayyib dari Salman. Hadis ini, menurut dua murid ulama Hadis tersebut, sanadnya Dhaif (lemah) karena lemahnya Ali bin Zaid. Ibnu Sa’ad berkata, “Di dalamnya ada kelemahan dan jangan berhujjah dengannya,” dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Tidak kuat”. Ibnu Ma’in berkata, “Dha’if.” Ibnu Abi Khaitsamah berkata, “Lemah di segala segi”, dan Ibnu Khuzaimah berkata: “Jangan berhujjah dengan Hadis ini karena jelek hafalannya.” Demikianlah pernyataannya di dalam Tahdzibut Tahdzib (7/322-323).
Yang benar adalah bahwa seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmat, ampunan dan kesempatan untuk terbebas dari api neraka tanpa ada pengelompokan di sepuluh awal, pertengahan dan akhir, ini sesuai dengan hadis shahih yang diriwayatkan oleh bukhari dan muslim. “Orang yang berpuasa karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu” (HR. Bukhari no.38, Muslim no. 760)
Hadis Berpuasa Akan Sehat
صُوْمُوْا تًصِحُّوْا
“Berpuasalah maka kamu sekalian sehat.”
Hadis tersebut merupakan potongan dari Hadis riwayat Ibnu Adi di dalam al-Kamil (7/2521) dari jalan Nahsyal bin Said, dari ad-Dhahhak, dari Ibnu Abbas. Nahsyal itu termasuk yang ditinggal (tidak dipakai) karena dia pendusta, sedang Ad-Dhahhaak tidak mendengar dari Ibnu Abbas. Dan diriwayatkan oleh at-Thabrani di dalam al-Ausath (1/Q, 69/ al-Majma’ul Bahrain) dan Abu Na’im di dalam ath-Thibbun Nabawi, dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, dari Zuhai bin Muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih, dari Abi Hurairah. Sanadnya dha’if (lemah). (Berpuasa menurut Sunnah Rasulullah SAW, hal. 84). Sebagian pendapat mengatkan bahwa ucapan ini terdapat pada kitab Al-Rahmah fi Al-Tibb wa Al-Hikmah, karya Imam Al-Suyuti. Ternyata ucapan ini bukanlah hadis melainkan perkataan seorang dokter dari Sudan yang meneliti bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh jadi pernyataan ini tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Hadis Meninggalkan Puasa tanpa Alasan
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ لَمْ يَقْضِهِ وَإِنْ صَامَ الدَّهْرَ كُلَّهُ
“Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari di bulan Ramadhan, padahal dia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al-’Ilal Al-Kabir (116), oleh Abu Daud di dalam Sunan-nya (2396), oleh Tirmidzi di Sunan-nya (723), Imam Ahmad di dalam Al-Mughni (4/367), Ad-Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al-Baihaqi di Sunan-nya (4/228).
Hadis ini didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al-Muhalla (6/183), Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (7/173), juga oleh Al-Albani di Dhaif At-Tirmidzi (723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif Al-Jami’ (5462) dan Silsilah Adh-Dha’ifah (4557). Namun, memang sebagian ulama ada yang menshahihkan Hadis ini seperti Abu Hatim Ar-Razi di Al-Ilal (2/17), juga ada yang menghasankan seperti Ibnu Hajar Al-Asqalani di Hidayatur Ruwah (2/329) dan Al-Haitsami di Majma’ Az-Zawaid (3/171). Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang yang sengaja tidak berpuasa.Yang benar -wal ‘ilmu ‘indallah- adalah penjelasan Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta (Komisi Fatwa Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa “Seseorang yang sengaja tidak berpuasa tanpa udzur syar’i, ia harus bertaubat kepada Allah dan mengganti puasa yang telah ditinggalkannya.” (Periksa: Fatawa Lajnah Daimah no. 16480, 9/191)
Hadis Tidurnya Orang Puasa
الصَّائِمُ فِي عِبَادَةٍ وَإِنْ كَانَ رَاقِدًا عَلَى فِرَاشِهِ
“Orang yang berpuasa adalah (tetap) di dalam ibadah meskipun dia terbaring (tidur) diatas tempat tidurnya”
Riwayat lain menyebutkan:
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan dan amalannya pun dilipatgandakan pahalanya”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di Su’abul Iman (3/1437). Hadis ini dho’if sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafidz Al-Iraqi dalam Takhrijul-Ihya (1/310). Albani juga mendha’ifkan hadis ini dalam Silsilah Ad-Dha’ifah (4696)
Hadis ini sering kali kita dengar, paling tidak, maknanya bahwa ada yang mengatakan tidurnya orang yang berpuasa itu adalah ibadah sehingga kemudian ini dijadikan alasan untuk menghabiskan waktu dengan tidur saja. Bahkan barangkali karenanya, shalat lima waktu ada yang bolong padahal kualitas hadis ini adalah dha’if (lemah). Hadis tersebut disebutkan oleh Imam As-Suyuthi di dalam kitabnya Al-Jami’ Ash-Shaghir, riwayat Ad-Dailamy di dalam Musnad Al-Firdaus dari Anas. Imam Al-Manawy memberikan komentar dengan ucapannya, “Di dalamnya terdapat periwayat bernama Muhammad bin Ahmad bin Sahl, Imam adz- Dzahaby berkata di dalam kitabnya Adh-Dhu’afa, Ibnu ‘Ady berkata, “(Dia) termasuk orang yang suka memalsukan Hadis.” Menurut Syaikh Al-Albany, hadis ini ada pada riwayat yang lain tanpa periwayat tersebut sehingga dengan demikian, hadis ini bisa terselamatkan dari status maudlû’ (palsu), tetapi tetap dha’if. Syaikh Al-Albani juga menyebutkan bahwa Abdullah bin Ahmad di dalam kitabnya Zawa’id Az-Zuhd, hal. 303 meriwayatkan hadis tersebut dari ucapan Abi Al-’Aliyah secara mauquf dengan tambahan: “Selama dia tidak menggunjing/ghibah.” Dan sanad yang satu ini adalah shahih, barangkali inilah asal hadis. Ia mauqûf (yaitu hadis yang hanya diriwayatkan oleh shahabat atau tabi’in) lantas sebagian periwayat yang lemah keliru dengan menjadikannya marfû’ (hadis yang sampai kepada Rasulullah). (Silsilah al-AHadis adl-Dloifah wa al-Maudlu’ah, Jld. II, karya Syaikh Al-Albany, no. 653, hal. 106).
Yang benar adalah bahwa tidur itu adalah perkara mubah (boleh) bukan ritual ibadah jadi sebagaimana perkara mubah yang lainnya, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah seperti tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya atau tidur guna mengistirahatkan tubuh agar lebih fit dalam beribadah. Semoga dengan penjelasan ini kita lebih berhati-hati di dalam menyaring hadis yang berkembang dan beredar di sekitar kita, dengan menyikapinya secara kritis dan bertanya tentang kualitasnya bilamana ragu untuk mengamalkannya.
Hadis Ibadah Ramadhan tergantung Zakat Fitrah
أَنَّ شَهْرَ رَمَضَانَ مُتَعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ لاَ يُرْفَعُ إِلاَّ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ
“Ibadah bulan Ramadhan tergantung di antara langit dan bumi. Tidak diangkat kepada Allah kecuali zakat fithri.” (HR. Al-Dhiyah).
Di dalam hadis ini terdapat perawi yang tidak diketahui kualitasnya, yaitu Muhammad bin ‘Ubayd Al-Bashri. Hadis ini oleh disebukan oleh Al-Mundziri di At-Targhib wat Tarhib (2/157). Al Albani mendha’ifkan hadis ini dalam Dha’if At-Targhib (664). Hadis ini disebutkan oleh Al-Mundziri di At-Targhib wat Tarhib (2/157). Al-Albani mendhaifkan hadis ini dalam Dhaif At-Targhib (664), dan Silsilah Ahadis Dhaifah (43).
Yang benar, jika dari hadis ini terdapat orang yang meyakini bahwa puasa Ramadhan tidak diterima jika belum membayar zakat fithri. Keyakinan ini salah, karena hadisnya dhaif. Zakat fithri bukanlah syarat sah puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa tersendiri.
Hadis Lima Hal yang Membatalkan Puasa
خَمْسٌ تُفْطِرُ الصَّائِمَ ، وَتُنْقِضُ الْوُضُوْءَ : اَلْكَذِبُ، وَالْغِيْبَةُ، وَالنَّمِيْمَةُ، وَالنَّظْرُ بِالشَّهْوَةِ، وَالْيَمِيْنُ الْفَاجِرَةُ
“Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah, namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Jauraqani di dalam Al-Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di dalam Al-Maudhu’at (1131). Hadis ini adalah hadis palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di dalam Al-Maudhû’at (1131), Al-Albani dalam Silsilah Adh-Dhâ’ifah (1708). Yang benar, lima hal tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala puasa. Sebagaimana hadis: “Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, serta mengganggu orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.” (HR. Bukhari, no.6057).
Hadis tentang Jihad Besar
رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الأَكْبَرِ . قَالُوا : وَمَا الْجِهَادُ الأَكْبَرُ؟ قًالَ: جِهَادُ الْقَلْبِ
“Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Para sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda: “Jihadnya hati melawan hawa nafsu.”
Menurut Al-Hafidz Al-Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6), hadis ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Az-Zuhd. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadis ini diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam Al-Kuna. Hadis ini adalah hadis palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al-Mulla Ali Al Qari dalam Al-Asrar Al Marfu’ah (211). Al-Albani dalam Silsilah Adh-Dhaifah (2460) mengatakan hadis ini munkar. Hadis ini sering dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadhan, yaitu untuk mengatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan lebih utama dari jihad berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadis ini tidak ada asalnya. Tidak ada seorang pun ulama Hadis yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi. Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang paling mulia. Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan sunnah yang paling dianjurkan.” (Majmu’ Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari Hadis palsu ini pun tidak benar karena jihad berperang di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi.
Hadis Ramadhan Bulan Umat Islam
رَجَبُ شَهْرُ اللهِ، وَشَعْبَانُ شَهْرِي، وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِي
“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Adz-Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ibnu Asakir di Mu’jam Asy-Syuyûkh (1/186). Hadis ini didhaifkan oleh di Asy-Syaukani di Nailul Authâr (4/334), dan Al-Albani di Silsilah Adh-Dhaifah (4400). Bahkan Hadis ini dikatakan hadis palsu oleh banyak ulama seperti Adz-Dzahabi di Tartibul Maudhû’at (162, 183), Ash-Shaghani dalam Al-Maudhu’at (72), Ibnul Qayyim dalam Al-Manarul Munif (76), Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Tabyinul Ujab (20).
***
Inilah sebagian di antara hadis-hadis palsu dan lemah yang berkaitan dengan Ramadhan. Setelah mengetahui kualitas hadis ini mungkin sebagian kita jadi ragu dan bertanya-tanya kenapa muncul hadis maudhû’ apa tujuannya dan apa ciri-ciri umum dari hadis maudhû’ itu, maka sebagai penutup tulisan dalam edisi ini akan kita secara umum sebab munculnya hadis maudhû’, tujuan, dan ciri-cirinya.
Walaupun hadis mempunyai fungsi dan kedudukan yang besar sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an, namun sebagaimana telah disebutkan bahwa hadis pada awal Islam tidak ditulis secara resmi sebagaimana Al-Qur’an, kecuali penulisan-penulisan yang bersifat pribadi. Upaya penulisan resmi baru terlaksana pada masa khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (abad kedua Hijriyah) melalui perintahnya kepada gubernur dan para ulama.
Kesenjangan waktu antara sepeninggal rasulullah dengan waktu pembukuan hadis yang hampir satu abad menjadi kesempatan bagi orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan pemalsuan hadis baik untuk tujuan yanng menurut mereka bersifat konstruktif (dengan tujuan meningkatkan kegiatan ibadah serta amal-amal lainnya) maupun yang destruktif (yang sengaja untuk mengaburkan dan menodai ajaran) dengan mengatasnamakan Rasulullah, padahal beliau tidak pernah mengatakan atau melakukannya.
Beberapa faktor pendorong yang menyebabkan orang membuat hadis palsu antara lain: keinginan melemahkan Islam dari dalam seperti yang dilakukan oleh golongan zindiq, kepentingan politik tertentu, mendukung aliran-aliran dalam ushul ad-din, kebingungan yang dialami oleh kalangan ahli tasawuf mendekatkan diri kepada Allah secara berlebih-lebihan, menjilat atau mencari muka kepada penguasa, semata-mata untuk memuaskan nafsu, dan kesenangan pribadinya, gejala linglung pada usia lanjut, dan karena untuk memikat orang-orang agar terrtarik kepada nasehat-nasehatnya.
Adapun ciri-ciri hadis maudhu’ secara umum adalah: makna atau lafaznya rusak (rakakah), matannya (kandungan/isi hadis) bertentangan dengan akal sehat, matannya bertentangan dengan Al-Qur’an, hadis mutawatir, dan hadis shahih serta hal-hal yang mudah dipahami dalam agama. Matannya menyebutkan janji yang sangat besar atas perbuatan yang kecil atau ancaman yang sangat besar atas perkara kecil, perawinya dikenal sebagai orang pendusta dan hadis yang diriwayatkan tersebut tidak diriwayatkan oleh perawi lain yang terpercaya.
Rasul Karim
(Alumni Jurusan Tafsir Hadis UIN Jakarta)