Senin, 29 Maret 2010

Segitiga Bermuda

Senin, 29 Maret 2010 | 0 komentar
Salah satu dari sekian banyak tanda-tanda kiamat, sebagaimana disampaikan Rasulullah SAW adalah munculnya dajjal, pada suatu masa nanti. Dajjal adalah sosok makhluk bermata satu dan suka membuat dan menyebarkan fitnah. Ia juga mengaku dirinya sebagai tuhan. Akibatnya, banyak umat manusia yang menjadi rusak akhlaknya karena teperdaya oleh tipu daya dan fitnah dajjal ini. Ia hanya mampu dikalahkan oleh Nabi Isa AS.

Karena itu, Rasul SAW senantiasa berdoa agar dijauhkan dari fitnah dajjal. "Ya Allah, aku berlindung dari siksa neraka, azab kubur, fitnah hidup dan saat mati, serta fitnah dajjal."

Dalam berbagai hadisnya, Rasul SAW mengingatkan umatnya, agar berhati-hati terhadap dajjal. "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya tidak ada fitnah di muka bumi ini yang lebih dahsyat daripada dajjal. Dan Allah SWT tidak mengutus seorang rasul atau nabi pun kecuali ia memperingatkan umatnya terhadap kemunculan dajjal. Aku adalah Nabi terakhir, dan kamu sekalian adalah umat terakhir pula. Dajjal pasti keluar dari tengah-tengah kalian. Jika ia keluar sedang aku ada di antara kalian, maka aku akan mengalahkannya dengan hujjah dan kemampuanku. Jika ia keluar setelah aku tiada, maka setiap orang akan menjadi penolong dirinya sendiri untuk mengalahkan musuhnya. Allah adalah penggantiku bagi setiap muslim, ..." (HR Ibnu Majah, Ibn KHuzaimah dan al-Hakim).

Dimanakah dajjal itu akan muncul, kapan kemunculannya, bagaimana rupanya, sehebat apa kekuatannya, berapa umurnya, dan dimana tinggalnya? Itulah berbagai pertanyaan yang sering diungkapkan banyak orang mengenai sosok dajjal tersebut.

Segitiga Bermuda

Menyebut kata 'segitiga bermuda', maka akan terbayang sebuah tempat yang senantiasa menyimpan berbagai macam misteri akan musnah atau hilangnya benda-benda yang berada atau melintas diatasnya. Sejumlah kapal terbang dan kapal laut secara tiba-tiba menghilang saat melintasi diatasnya. Benarkah ada sesuatu disana?

Berbagai penelitian telah dilakukan mengenai kemisterian segitiga bermuda. Ada yang menyatakan, lokasi tersebut memiliki medan magnet yang sangat tinggi. Sehingga benda-benda yang mengandung logam, akan mudah tertarik ke pusatnya. Teori ini dikemukakan oleh Albert Einstein, dengan relativitasnya.

Ada pula yang menyatakan, hilangnya benda-benda (pesawat dan kapal laut) itu, karena memasuki gerbang waktu. Benda-benda itu memasuki wilayah gerbang waktu, sehingga ketika berada tepat diatasnya, maka akan menghilang. Hilangnya itu, bisa kembali ke masa lampau atau muncul di masa depan.

Ada juga yang menyatakan, lenyapnya benda-benda itu karena mereka ditelan atau dibawa oleh UFO (Unidentified Flying Object) atau piring terbang. Sementara yang lain mengatakan, mereka hilang karena masuk dalam dunia paralel. Mereka ada di dunia yang berbeda dengan dunia yang sebelumnya. Dari empat teori diatas, ketiga teori yang terakhir disebiut pula dengan teori mekanika quantum.

Benarkah semua itu? Hingga saat ini, belum ada yang mampu menjelaskannya secara ilmiah. Berbagai hasil penelitian dan teori-teori diatas, seakan terbantahkan ketika hal itu tak mampu dibuktikan.

Lalu apakah yang menyebabkannya? Dajjal. Mungkin inilah jawaban terakhir yang dikemukakan sejumlah orang mengenai hilangnya pesawat dan kapal laut itu. Dajjal, --sosok makhluk terlaknat dan pembuat fitnah itu-- kini dituding yang melakukan semua itu karena persekongkolannya dengan setan.

Muhammad Isa Daud, penulis buku 'Dajjal Muncul di Segitiga Bermuda' menjelaskan, musnahnya benda-benda itu disebabkan oleh si makhluk bermata satu alias dajjal. Menurutnya, di daerah segitiga bermuda (Bermuda Triangle) yang terletak di antara Florida (Amerika) di sebelah barat, Puerto Rico di sebalah timur, dan pulau bermuda di sebalah utara. Ada yang mengatakan, Florida berasal dari kata 'Flory' dan 'ida' yang berarti dukun yang ditunggu atau tuhan masa depan.

Segitiga bermuda terletak di Samudera Atlantik. Menurut Isa Daud, disitu terdapat sebuah pulau yang dikuasai oleh sekumpulan makhluk yakni setan yang bekerja sama dengan dajjal untuk menghancurkan umat manusia. Nama pulau itu adalah pulau setan (bedakan dengan pulau setan di Guyana, Prancis).

Di sekitar wilayah segitiga bermuda ini, sebagaimana diterangkan Isa Daud, dajjal bersama setan berkomplot dan terus berusaha menyebarkan misinya, melalui orang-orang kepercayaannya, sesama penyembah setan. Mereka mengajarinya dengan berbagai bujukan dan rayuan sehingga orang-orang terkesima dan takjub dengan apa yang disuguhkan dan disajikannya. Maka, pada hari kiamat nanti, dari lokasi (Segitiga Bermuda) inilah, dajjal akan muncul dan melakukan fitnah secara besar-besaran kepada seluruh umat manusia. Ia akan membangga-banggakan cara-cara Yahudi, karena dajjal dipercaya merupakan keturunan dari Yahudi.

Muhammad Isa Daud menegaskan, ia membuat kesimpulan diatas, bukan atas pendapatnya sendiri, melainkan berdasarkan sejumlah manuskrip kuno yang ia pelajari dari beberapa orang Muslim, baik yang tinggal di Palestina, Arab Saudi, Yaman, Swedia, Amerika, Inggris, Jerman, dan lainnya. Mereka itulah, ungkap Isa Daud, yang memiliki data yang mencengangkan yang belum pernah dipublikasikan oleh orang lain. Wallahu A'lam.
Red: irf
Rep: syahrudin el fikri
Sumber: Republika OnLine » Ensiklopedia Islam » Islam Digest
Segitiga Bermuda Tempat Munculnya Dajjal?
Selasa, 30 Maret 2010, 10:57 WIB
Smaller Reset Larger

read more

Minggu, 28 Maret 2010

MANAJEMENT RESIKO PADA PERBANKAN SYARIAH

Minggu, 28 Maret 2010 | 0 komentar
PENDAHULUAN
Perkembangan perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang pesat khususnya sepanjang tiga dekade terakhir ini, baik di dunia internasional maupun di Indonesia. Pada era modern ini, perbankan syariah telah menjadi fenomena global, termasuk di negara-negara yang tidak berpenduduk mayoritas muslim.
Manajemen risiko merupakan unsur penting yang penerapannya sangat perlu diperhatikan, khususnya pada Bank sebagai salah satu lembaga keuangan (financial institution) . Penyusunan kerangka kerja, struktur dan perangkat yang efektif untuk memonitor risiko dengan menggunakan pendekatan Enterprise Risk Management (ERM) telah dimulai di tahun 2007. Selama 2007, pekerjaan besar telah diselesaikan dalam mengidentifikasi risk event dan merencanakan skenario untuk meningkatkan efektivitas Bank dalam kemampuannya menanggapi potensi atau terjadinya risk event.
PENGERTIAN MANAJEMEN RISIKO
Istilah (risk) risiko memiliki berbagai definisi. Secara umum risiko diinterpretasikan sebagai sebuah ketidakpastian atas suatu posisi.
Risiko dikaitkan dengan kemungkinan kejadian atau keadaan yang dapat mengancam pencapaian tujuan dan sasaran organisasi Vaughan (1978) mengemukakan beberapa definisi risiko sebagai berikut:
- Risk is the chance of loss (Risiko adalah kans kerugian).
Chance of loss berhubungan dengan suatu exposure (keterbukaan) terhadap kemungkinan kerugian. Dalam ilmu statistik, chance dipergunakan untuk menunjukkan tingkat probabilitas akan munculnya situasi tertentu. Sebagian penulis menolak definisi ini karena terdapat perbedaan antara tingkat risiko dengan tingkat kerugian. Dalam hal chance of loss 100%, berarti kerugian adalah pasti sehingga risiko tidak ada.
- Risk is the possibility of loss (Risiko adalah kemungkinan kerugian).
Istilah possibility berarti bahwa probabilitas sesuatu peristiwa berada diantara nol dan satu. Namun, definisi ini kurang cocok dipakai dalam analisis secara kuantitatif.
- Risk is uncertainty (Risiko adalah ketidakpastian).
Uncertainty dapat bersifat subjective dan objective. Subjective uncertainty merupakan penilaian individu terhadap situasi risiko yang didasarkan pada pengetahuan dan sikap individu yang bersangkutan. Objective uncertainty akan dijelaskan pada dua definisi risiko berikut.
- Risk is the dispersion of actual from expected results (Risiko merupakan penyebaran hasil aktual dari hasil yang diharapkan).
Ahli statistik mendefinisikan risiko sebagai derajat penyimpangan sesuatu nilai disekitar suatu posisi sentral atau di sekitar titik rata-rata.
- Risk is the probability of any outcome different from the one expected (Risiko adalah probabilitas sesuatu outcome berbeda dengan outcome yang diharapkan). Menurut definisi di atas, risiko bukan probabilita dari suatu kejadian tunggal, tetapi probabilita dari beberapa outcome yang berbeda dari yang diharapkan.
Dari berbagai definisi diatas, risiko dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk (kerugian) yang tidak diinginkan, atau tidak terduga. Dengan kata lain, kemungkinan itu sudah menunjukkan adanya ketidakpastian.

Kerangka Manajemen Resiko
• Identifikasi Resiko dilaksanakan dengan melakukan analisis terhadap karakteristik resiko yang melekat pada aktivitas fungsional, Resiko terhadap produk dan kegiatan usaha
• Pengukuran resiko dilaksanakan dengan melakukan evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi, sumber data dan prosedur yang digunakan untuk mengukur resiko , Penyempurnaan terhadap sistem pengukuran resiko apabila terdapat perubahan kegiatan usaha, produk, transaksi dan faktor resiko yang bersifat material
• Pemantauan Resiko dilaksanakan dengan melakukan evaluasi terhadap eksposure resiko Penyempurnaan proses pelaporan terdapat perubahan kegiatan usaha, produk, transaksi, faktor resiko, teknologi informasi dan sistem informasi manajemen yang bersifat material Pelaksanaan proses pengendalian resiko, digunakan untuk mengelola resiko tertentu yang dapat membahayakan kelangsungan usaha
Fungsi Manajemen Resiko
• Menetapkan arah dan risk appetite dengan mengkaji ulang secara berkala dan menyetujui risk exposure limits yang mengikuti perubahan strategi perusahaan
• Menetapkan limit umumnya mencakup pemberian kredit, penempatan non kredit, asset liability management, trading dan kegiatan lain seperti derivatif dan lain-lain
• Menetapkan kecukupan prosedur atau prosedur pemeriksaan (audit) untuk memastikan adanya integrasi pengukuran resiko, kontrol sistem pelaporan, dan kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur yang berlaku
• Menetapkan metodologi untuk mengelola resiko dengan menggunakan sistem pencatatan dan pelaporan yang terintegrasi dengan sistem komputerisasi sehingga dapat diukur dan dipantau sumber resiko utama terhadap organisasi Bank
Profil Risiko Perbankan Syariah
Dalam konteks perbankan risiko merupakan potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat menimbulkan kerugian Bank. Secara umum. Dalam konteks penerapan manajemen risiko, pedoman yang dijalankan selama ini, dibuat hanya untuk bank-bank konvensional. Padahal pemain dalam bisnis perbankan dunia dan nasional tidak hanya bank konvensional, tetapi juga telah diramaikan oleh bank dengan prinsip syariah yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Maka bagaimana penerapan manajemen risiko pada bank-bank syariah?
Secara historis penerapan manajemen risiko pada bank, dalam hal ini BI sendiri baru mulai menerapkan aturan perhitungan capital adequacy ratio (CAR) pada bank sejak 1992. Sementara itu, bank dengan prinsip syariah lahir pertama kali di Indonesia pada tahun yang sama. Jadi jika dilihat dari usia sistem perbankan syariah, hal ini merupakan tantangan yang berat. Bank syariahpun akan sangat sulit mengikuti konsep yang telah dijalankan perbankan konvensional dalam hal manajemen risiko, mengingat perbankan konvensional membutuhkan waktu yang panjang untuk membangun sistem dan mengembangkan teknik manajemen risiko, di Lain pihak, operasi bank syariah memiliki karakteristik dengan perbedaan yang sangat mendasar jika dibandingkan dengan bank konvensional, sementara manajemen risiko juga harus diimplementasikan oleh bank syariah agar tidak hancur dihantam risiko. Oleh karena itu, apa yang dapat dilakukan? Cara yang paling cepat dan efektif adalah mengadopsi sistem manajemen risiko bank konvesional yang disesuaikan dengan karakteristik perbankan syariah. Inilah yang dilakukan BI sebagai regulator perbankan nasional yang akan menerapkan juga bagi perbankan syariah.
Dalam hal ini Islamic Financial Services Board (IFSB), telah merumuskan prinsip-prinsip manajemen risiko bagi bank dan lembaga keuangan dengan prinsip syariah. Pada 15 Maret 2005 yang lalu, exposure draft yang pertama telah dipublikasikan. Dalam executive summary draft tersebut dengan jelas disebutkan bahwa kerangka manajemen risiko lembaga keuangan syariah mengacu pada Basel Accord II (yang juga diterapkan perbankan konvensional) dan disesuaikan dengan karakteristik lembaga keuangan dengan prinsip syariah.
Secara umum, risiko yang dihadapi perbankan syariah bisa diklasifikasikan menjadi dua bagian besar. Yakni risiko yang sama dengan yang dihadapi bank konvensional dan risiko yang memiliki keunikan tersendiri karena harus mengikuti prinsip-prinsip syariah. Risiko kredit, risiko pasar, risiko benchmark, risiko operasional, risiko likuiditas, dan risiko hukum, harus dihadapi bank syariah. Tetapi, karena harus mematuhi aturan syariah, risiko-risiko yang dihadapi bank syariah pun menjadi berbeda.
Bank syariah juga harus menghadapi risiko-risiko lain yang unik (khas). Risiko unik ini muncul karena isi neraca bank syariah yang berbeda dengan bank konvensional. Dalam hal ini pola bagi hasil (profit and loss sharing) yang dilakukan bank syari’ah menambah kemungkinan munculnya risiko-risiko lain. Seperti withdrawal risk, fiduciary risk, dan displaced commercial risk merupakan contoh risiko unik yang harus dihadapi bank syariah. Karakteristik ini bersama-sama dengan variasi model pembiayaan dan kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah.
Konsekuensinya, teknik-teknik yang digunakan untuk melakukan identifikasi, pengukuran, dan pengelolaan risiko pada bank syariah dibedakan menjadi dua jenis. Teknik-teknik standar yang digunakan bank konvesional, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip syariah, bisa diterapkan pada bank syariah. Beberapa di antaranya, GAP analysis, maturity matching, internal rating system, dan risk adjusted return on capital (RAROC).
Di sisi lain bank syariah bisa mengembangkan teknik baru yang harus konsisten dengan prinsip-prinsip syariah. Ini semua dilakukan dengan harapan bisa mengantisipasi risiko-risiko lain yang sifatnya unik tersebut.
Survei yang dilakukan Islamic Development Bank (2001) terhadap 17 lembaga keuangan syariah dari 10 negara mengimplikasikan, risiko-risiko unik yang harus dihadapi bank syariah lebih serius mengancam kelangsungan usaha bank syariah dibandingkan dengan risiko yang dihadapi bank konvesional. Survei tersebut juga mengimplikasikan bahwa para nasabah bank syariah berpotensi menarik simpanan mereka jika bank syariah memberikan hasil yang lebih rendah daripada bunga bank konvesional. Lebih jauh survei tersebut menyatakan, model pembiayaaan bagi hasil, seperti diminishing musyarakah, musyarakah, mudharabah, dan model jual-beli, seperti salam dan istishna’, lebih berisiko ketimbang murabahah dan ijarah.
Dalam pengembangannya ke depan, perbankan syariah menghadapi tantangan yang tidak ringan sehubungan dengan penerapan manajemen risiko ini seperti, pemilihan instrumen finansial yang sesuai dengan prinsip syariah termasuk juga instrumen pasar uang yang bisa digunakan untuk melakukan hedging (lindung nilai ) terhadap risiko. Oleh karena BI dan IFSB mengacu pada aturan Basel Accord II, maka pemahaman yang matang mengenai manajemen risiko bank konvensional akan sangat membantu penerapan manajemen risiko di bank syariah.
Metode Memperlakukan Resiko
1. Dihindari, apabila resiko tersebut masih dalam pertimbangan untuk diambil, misalnya karena tidak masuk kategori Resiko yang diinginkan Bank atau karena kemungkinan jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang diharapkan
2. Diterima dan dipertahankan, apabila resiko berada pada tingkat yang paling ekonomis
3. Dinaikkan, diturunkan atau dihilangkan, apabila resiko yang ada dapat dikendalikan dengan tata kelola yang baik, atau melalui pengoperasian exit strategy
4. Dikurangi, misalnya dengan mendiversifikasi portofolio yang ada, atau membagi (share) resiko dengan pihak lain
5. Dipagari (hedge), apabila resiko dapat dilindungi secara atificial, misalnya resiko dinetralisir sampai batas tertentu dengan instrumen derivatif.
Resiko Perbankan
Risio-risiko perbankan pada umumnya dibandingkan dengan bank syariah, mengacu pada Bab II pasal 4 butir 1 PBI No. 5/8/PBI/2003 antara lain sebagai berikut :
1. Risiko Kredit (credit risk)
Adalah risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak memenuhi kewajibannya. Pada bank umum, pembiayaan disebut pinjaman, sementara di bank syariah disebut pembiayaan, sedangkan untuk balas jasa yang diberikan atau diterima pada bank umum berupa bunga (interest loan atau deposit) dalam persentase yang sudah ditentukan sebelumnya. Pada bank syariah, tingkat balas jasa terukur oleh sistem bagi hasil dari usaha. Selain itu, persyaratan pengajuan kredit pada perbankan syariah lebih ketat dari perbankan konvensional sehingga risiko kredit dari perbankan syariah lebih kecil dari perbankan konvensional.
Oleh sebab itu pada sisi kredit, dalam aturan syariah, bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli murabahah.
Dengan demikian debitor yang dinilai tidak cacat hukum dan kegiatan usahanya berjalan baik akan mendapat prioritas. Oleh sebab itu, risiko bank syariah sebetulnya lebih kecil dibanding bank konvensional. Bank syariah tidak akan mengalami negative spread, karena dari dana yang dikucurkan untuk pembiayaan akan diperoleh pendapatan, bukan bunga seperti di bank biasa.

2. Risiko Pasar
Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki oleh bank, yang dapat merugikan bank. Variabel pasar antara lain adalah suku bunga dan nilai tukar. Pada perbankan syariah tidak terdapat risiko pasar dikarenakan perbankan syariah tidak melandaskan operasionalnya berdasar risiko pasar.
3. Risiko Likuiditas
Risiko antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo. Bank memiliki dua sumber utama bagi likuiditasnya, yaitu aset dan liabilitas. Apabila bank menahan aset seperti surat-surat berharga yang dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan dananya, maka resiko likuiditasnya bisa lebih rendah. Sementara menahan aset dalam bentuk surat- surat berharga membatasi pendapatan, karena tidak dapat memperoleh tingkat penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan pembiayaan.
Faktor kuncinya adalah bank tidak dapat leluasa memaksimumkan pendapatan karena adanya desakan kebutuhan likuiditas. Oleh karena itu bank harus memperhatikan jumlah likuiditas yang tepat. Terlalu banyak likuiditas akan mengorbankan tingkat pendapatan dan terlalu sedikit akan berpotensi untuk meminjam dana dengan harga yang tidak dapat diketahui sebelumnya, yang akan berakibat meningkatnya biaya dan akhirnya menurunkan profitabilitas.
Pada bank syariah, dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya mem-bungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana.
Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, di dalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun risiko.
4. Resiko Operasional (operational risk)
Menurut definisi Basle Committe, resiko operasional adalah resiko akibat dari kurangnya sistem informasi atau sistem pengawasan internal yang akan menghasilkan kerugian yang tidak diharapkan. Resiko ini lebih dekat dengan keasalahan manusiawi (human error), adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kegagalan sistem atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko operasional
5. Risiko Hukum
Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau lemahnya perikatan seperti tidak terpenuhinya syarat sahnya kontrak. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko hukum.
6. Risiko Reputasi
Risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko reputasi.
7. Risiko Stratejik
Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan eksternal. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko stratejik.

8. Risiko Kepatuhan
Risiko yang disebabkan bank tidak memenuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko kepatuhan.
Apabila dipetakan terhadap produk-produk perbankan syariah maka risiko-risiko yang mungkin timbul adalah sebagai berikut :
1. Tabungan: Risiko Likuiditas dan Risiko Operasional
2. Deposito: Risiko Likuiditas dan Risiko Operasional
3. Giro: Risiko Likuiditas dan Risiko Operasional
4. Pembiayaan Murabahah: Risiko Pembiayaan dan Risiko Hukum
5. Salam: Risiko Pembiayaan dan Risiko Operasional
6. Rahn: Risiko Operasional dan Risiko Pasar
7. Ishtisna: Risiko Pembiayaan dan Risiko Operasional
8. Pembiayaan Mudharabah: Risiko Pembiayaan dan Risiko Hukum
9. Pembiayaan Musyarakah: Risiko Pembiayaan dan Risiko Hukum

Adanya risiko-risiko bagi bank tersebut bukan berarti bahwa produk tersebut tidak aman (unsecured). Bank Syariah sudah pasti telah memperhitungkan risiko-risiko ini sebelum produk tersebut disampaikan kepada masyarakat. Masyarakat tidak perlu khawatir pula, karena dalam pelaksanaan operasionalnya, seluruh bank syariah diawasi. Lembaga-lembaga pengawasan yang memastikan setiap bank syariah dapat mengendalikan risiko dengan baik antara lain Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan.
Manajemen Risiko Pembiayaan Bank Syariah
Pembiayaan yang memberikan hasil tetap didapatkan dari pembiayaan yang berakad jual beli (tijarah) dan sewa menyewa (ijarah). Sementara pembiayaan yang memberikan hasil tidak tetap didapatkan dari pembiayaan yang berakad bagi hasil (syirkah). Berdasarkan dua hal tersebut, maka produk pembiayaan di bank syariah akan memberikan risiko yang berbeda antara akad yang satu dengan akad yang lainnya, sehingga dengan demikian manajemen resiko pembiayaan dibank syariah sangat berkaitan dengan risiko karakter nasabah dan risiko proyek. Risiko karakter berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan karakter nasabah. Sementara risiko proyek berkaitan dengan karakter proyek yang dibiayai.
Risiko karakter nasabah dapat dilihat dari aspek : skill, reputasi, dan origin. Sementara resiko proyek yang dibiayai dapat dilihat dari ciri-ciri atau atribut proyek. Ciri-ciri atau atribut proyek yang harus diperhatikan untuk meminimalkan resiko adalah : sistem informasi akuntansi, tingkat return proyek, tingkat resiko proyek, biaya pengawasan, kepastian hasil dari proyek, klausul kesepakatan proyek, jangka waktu kontrak, arus kas perusahaan jaminan yang disediakan, tingkat kesehatan proyek dan prospek proyek.
Peran Dewan Pengawas Syariah
Dewan Pengawas Syari'ah (DPS) memiliki peran penting dan strategis dalam penerapan prinsip syariah di perbankan syariah. DPS bertanggung jawab untuk memastikan semua produk dan prosedur bank syariah sesuai dengan prinsip syariah. Karena pentingnya peran DPS tersebut, maka dua Undang-Undang di Indonesia mencantumkan keharusan adanya DPS tersebut di perusahaan syariah dan lembaga perbankan syariah, yaitu Undang-Undang UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dengan demikian secara yuridis, DPS di lembaga perbankan menduduki posisi yang kuat, karena keberadaannya sangat penting dan strategis. Berdasarkan kedua Undang-Undang tersebut kedudukan DPS sudah jelas dan mantap serta sangat menentukan pengembangan bank syariah dan perusahaan syariah di masa kini dan masa mendatang.
Fungsi dan peran DPS di bank syariah, memiliki relevansi yang kuat dengan manajemen risiko perbankan syariah, yakni risiko reputasi, yang selanjutnya berdampak pada risiko lainnya seperti risiko likuiditas. Pelanggaran syariah complience yang dibiarkan atau luput dari pengawasan DPS, akan merusak citra dan kredibilitas bank syariah di mata masyarakat, sehingga dapat menurunkan kepercayaan masyarakat kepada bank syariah bersangkutan. Untuk itulah peran DPS di bank syariah harus benar-benar dioptimalkan, kualifikasi menjadi DPS harus diperketat, dan formalisasi perannya harus diwujudkan di bank syariah tersebut.

read more

Perbandingan Tafsir Al-Azhar dengan Al-Misbah Tentang Kisah dalam surat al-kahfi ayat 60-82

0 komentar
ANALISA PERBANDINGAN

A. Pemaparan Alur Cerita
Berbicara tentang kisah berarti berbicara tentang rentetan sebuah kejadian atau peristiwa. Alur cerita dari kisah perjalanan Nabi Mûsâ dengan ‘Abdun Shaleh, yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-kahfi ayat 60 sampai ayat 82 adalah sebagai berikut :
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا (60) فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا (61) فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ ءَاتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا (62) قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا (63) قَالَ ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلَى ءَاثَارِهِمَا قَصَصًا (64) فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا ءَاتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا (65) قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا (66) قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا(67) وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا (68) قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا (69) قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا (70) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا (71) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (72) قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرًا (73) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا لَقِيَا غُلَامًا فَقَتَلَهُ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا (74) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا(75) قَالَ إِنْ سَأَلْتُكَ عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا فَلَا تُصَاحِبْنِي قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَدُنِّي عُذْرًا(76) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا (77) قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (78) أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا (79) وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا (80) فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا (81) وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا(82)

Artinya: 60. Dan (ingatlah) ketika Mûsâ berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun".61. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.62. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Mûsâ kepada muridnya: "Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini".63. Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali."64. Mûsâ berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.65. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.66. Mûsâ berkata kepada Khidhir: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" 67. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.68. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"69. Mûsâ berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".70. Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu". 71. Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhir melobanginya. Mûsâ berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.72. Dia (Khidhir) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku"73. Mûsâ berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".74. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhir membunuhnya. Mûsâ berkata: "Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar".75. Khidhir berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" 76. Mûsâ berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku".77. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhir menegakkan dinding itu. Mûsâ berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu".78. Khidhir berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.79. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.80. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mu'min, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.81. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).82. Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".

Kisah merupakan rentetan sebuah kejadian, ketika memaparkan alur sebuah kisah berarti menjelaskan bagaimana tahap demi tahap kronologis kejadian yang diceritakan dalam kisah tersebut. Agar lebih mudah melihat dimana perbedaan dan persamaan pemaparan alur cerita, kisah perjalanan Nabi Mûsâ dengan hamba shaleh dalam penafsiran Hamka dan Quraish Shihab maka ini bisa kita lihat melalui tabel berikut ini..
Hamka Quraish Shihab
1. Dalam menafsirkan kisah perjalanan Nabi Mûsâ yang terdapat dalam surat al-Kahfi ayat 60-82, Hamka memberi judul dan mengelompokkan ayat-ayat tersebut dalam :petema, ayat 60-64 Nabi Mûsâ Pergi Berguru (1), kedua, ayat 65-82 Nabi Mûsâ Pergi Berguru (II), dalam menafsirkan ayat-ayat tentang Nabi Mûsâ berguru (II) beliau juga membagai ayat-ayat tersebut ke dalam beberapa kelompok ayat yaitu : ayat 65-73, ayat 74-78, ayat 79-82, tanpa memberi judul.
2. Awal kisah perjalanan Nabi Mûsâ, oleh Hamka diambil dari sebuah hadis yang sanadnya, dirawikan oleh Bukhâri diterima dari Qutaibah bin sa’id dari Sufyan bin ’Uyaynah dari Umar bin Dinar dari Sa’id Bin Jubair, dia menerima dari Ibn ’Abbâs.
3. Menurut Hamka perkataan Nabi Mûsâ ketika ditanya dalam berpidato, ”Siapakah manusia yang paling pandai?” Beliau menjawab: ”Aku.” mendapat teguran dari Allah. Lalu Allah berfirman kepadanya, bahwa bukanlah dia yang paling pandai di zaman itu. Ada lagi orang yang lebih pandai dan lebih alim dari dia. orang itu berdiam di suatu tempat di pertemuan di antara dua lautan.
4. Nabi Mûsâ bertanya kepada Tuhan: ”Ya Tuhanku, bagaimana caranya aku dapat menemui orang itu?”
5. Maka Allah memerintahkan kepada beliau supaya berangkat ketempat peremuan dua laut dengan membawa bekal yang disertai dengan ikan dalam suatu jinjingan.
6. Nabi Mûsâ pergi dengan di dampingi oleh seorang anak muda yang selalu menjadi pengawal keamanan dia pergi. menurut satu riwayat Bukhâri dari Sufyan Bin Uyaynah pemuda itu adalah pengiring Mûsâ yang terkenal yang kelak akan meneruskan tugas beliau yaitu Yusya’ bin Nun .
7. Setelah lama berjalan Mûsâ sampai didekat pertemuan dua laut. Lalu mereka pun menghentikan perjalanannya dan Mûsâ pun tertidur karena lelah.
8. Ikan yang dalam jinjingan yang dibawa oleh Yusya’. Yusya’ pun merasa letih kemudian dia pun melepaskan lelahnya. Tiba-tiba dengan tidak disangka-sangka ikan yang ada dalam jinjingan itu melompat dari dalam jinjingan.
9. setelah melepas lelah mereka melanjutkan perjalanan kembali. Setelah melewati tempat berhenti mereka tadi, perut sudah terasa lapar. Mûsâ memintak Yusya’ bin Nun untuk menyiapkan makanan.
10. Yusya’ ingat kalau ikan tersebut meluncur dari dalam jinjingannya, merayap ke atas tanah lalu dengan cepat sekali ia meluncur ke laut, waktu di tempat pemberhentian tadi dan ia lupa menceritakan kejadian itu kepada Mûsâ.
11. Maka keduanya pun kembali ke tempat itu, dengan melalui jejak-jejak kaki mereka yang telah terkesan di pasir
12. Maka mereka bertemu dengan seorang yang dapat segera dikenalinya walaupun baru sekali bertemu.
13. Mûsâ melanjutkan perjalanan bersama dengan gurunya, pergi keseberang laut sana, menumpang pada sebuah perahu.
14. Khidir membuat lobang pada perahu itu, lalu Mûsâ bertanya: ”apa sebab engkau lobangi dia yang akan menyebabkan semua penumpangnya tenggelam, termasuk engkau dan aku
15. Dia berkata: bukankah telah aku katakan kepadamu, bahwa engkau tidak akan sanggup bersabar bersama aku. Mûsâ mengakui terus terang bahwa dia telah lupa dengan janjinya, kemudian dia minta maaf.
16. Maka mereka meneruskan perjalanan sehingga bertemu dengan anak muda-muda yang sedang bermain, di antara anak muda-muda yang sedang bermain bersuka ria itu, kelihatan oleh guru itu seorang di antara mereka, maka tanpa banyak tanya lansung dibunuhnya anak tersebut.
17. Maka Mûsâ pun bertanya, apakah patut engkau bunuh satu jiwa yang masih bersih dengan tidak ada sebab dia membunuh orang.
18. Dia menjawab sejak awal engkau menyatakan ingin menggabungkan diri dengan daku telah aku katakan ”sungguh engkau tidak akan sanggup bersabar bersama aku”.
19. Mûsâ kembali teringat dengan janjinya, lalu dia berkata: ”Jika aku berbuat kesalahan memungkiri janjiku sekali lagi, sudah sepantasnya aku tidak boleh lagi ikut bersama kamu karena uzur yang engkau berikan kepada aku sampai tiga kali sudah lebih dari cukup.
20. Keduanya pun melanjutkan perjalanan, sehingga sampai keduanya pada penduduk suatu kampung. Mungkin karena perjalan itu sudah sangat jauh, dan persedian makanan pun sudah habis, dan keduanyapun sudah sangat lapar, mereka meminta jamuan kepada penduduk negeri itu, karena penduduk negeri itu memiliki budi yang kurang baik serta bakil, sehingga mereka tidak mau memberi makan.
21. Mereka mendapati dinding rumah yang hendak roboh, segera ditumpilkan oleh guru tersebut, sehingga berdiri kembali, melihat perbuatan guru itu Mûsâ berkata: ”jika engkau minta upahnya, sekurangnya dengan makanan untuk kita berdua, agar bisa menghilangkan kelaparan kita.
22. Dia berkata: selesailah sampai di sini. Kita sudah mesti berpisah, engkau di ikat oleh janjimu sendiri, jika bertanya sekali lagi, aku tidak akan membawamu dalam perjalanan ini.
1. Quraish Shihab dalam menafsirkan kisah Nabi Mûsâ dalam surat al-Kahfi, beliau membaginya kedalam beberapa kelompok ayat, yaitu: ayat 60-61, ayat 62-64, ayat 65, ayat 66-68, ayat 69-70, ayat 71-73, ayat 74-75, ayat 76-77, ayat 78-79, ayat 80-81, dan ayat 82.
2. Awal kisah perjalanan Nabi Mûsâ dengan hamba shaleh ini, diambil oleh Quraish Shihab dari hadis Rasul saw. yang diriwayatkan oleh Imâm Bukhâri melalui jalur sanad Hamid dari Sufyan dari Umar bin Dinar dari Sa’id bin Jubair dari sahabat Nabi saw. Ibn ’Abbâs.
3. Menurut Quraish Shihab latar belakang kisah perjalanan Nabi Mûsâ ini adalah karena ketika Nabi Mûsâ tampil berkhutbah di depan Banî Isrâil, lalu ia ditanya, ’Siapakah yang lebih dalam ilmunya?’ Mûsâ menjawab, ’Saya.’ pernyataan Nabi Mûsâ tersebut mendapat kecaman dari Allah.
4. Lalu Allah mewahyukan kepadanya bahwa: ’Aku mempunyai seorang hamba yang berada di pertemuan dua lautan. Dia lebih mengetahui daripada engkau.’
5. Nabi Mûsâ as. bertanya, ’Tuhan, bagaimana aku dapat bertemu denganya?’
6. Allah berfirman, ’ambillah seekor ikan, lalu tempatkan ia di wadah yang terbuat dari daun kurma lalu ditempat mana engkau kehilangan ikan itu, maka disanalah dia’.”
7. Nabi Mûsâ as. kemudian beranjak untuk menemui hamba Allah itu sambil membawa seorang pembantu dan makanan serta seekor ikan yang telah mati – boleh jadi telah dimasak – karena ia ditempatkan di wadah seperti terbaca di atas baru ketahuan hilangnya ketika mereka akan makan siang.
8. Perjalanan Nabi Mûsâ dengan pembantunya itu agaknya sudah cukup jauh walaupun belum sampai sehari semalam, Nabi Mûsâ minta untuk disiapkan bekal makanan mereka.
9. Pembantunya berkata: ”tahukah engkau wahai guru yang mulia bahwa tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi sungguh aku lupa untuk mengingat ihwal ikan itu mengambil jalannya ke laut, sungguh ajaib sekali bagaiman dia bisa mencebur ke laut. Dari ucapan pembantu Nabi Mûsâ as. di atas tidak ditemukan petunjuk yang kuat tentang hidupnya ikan dan melompat ke laut. Boleh jadi sewaktu mereka beristirahat di batu yang disinggung di atas – yang letaknya di pinggir pantai atau di atas laut – pembantunya meletakkan bekal makanan termasuk tersebut di atas batu itu lalu dia lupa mengambilnya atau tersenggol sehingga ia terjatuh dan dibawa arus ketengah laut.
10. Mûsâ berkata, itulah tempat atau tanda yang kita cari.
11. Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula. Perjalan kembali ke tempat hilangnya ikan.
12. Ketika sampai di tempat ikan itu mencebur ke laut, mereka bertemu dengan seorang hamba mulia lagi taat.
13. Dalam pertemuan kedua tokoh tersebut Mûsâ berkata kepadanya, bolehkah aku mengikutimu secara bersungguh-sungguh, supaya engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari ilmu-ilmu yang telah diajarkan Allah kepadamu untuk menjadi petunjuk bagiku menuju kebenaran, dia menjawab sungguh engkau wahai Mûsâ sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku, karena peristiwa yang engkau jalani bersamaku, akan membuatmu tidak sabar.
14. Nabi Mûsâ berkata, ’engkau insyâ’ Allah akan mendapati aku sebagai seorang penyabar’.
15. Dia berkata, ”jika engakau mengikutiku secara bersungguh-sungguh, maka seandainya engkau melihat hal yang tidak sejalan dengan pendapatmu atau bertentangan dengan apa yang engkau ajarkan, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, yang aku kerjakan atau aku ucapkan sampai tiba waktunya aku sendiri yang akan menerangkannya kepadamu. Demikianlah hamba yang shaleh itu menetapkan syarat keikut sertaan Nabi Mûsâ.
16. Setelah usai pembicaraan pendahuluan, dan masing-masing telah menyampaikan serta menyepakati kondisi dan syarat yang dikehendaki, Mûsâ dan hamba Allah yang shaleh itu menelusuri pantai untuk mengendari perahu, hingga tatkala keduanya menaiki perahu, hamba Allah yang shaleh itu melubanginya.
17. Dia berkata petanda tidak setuju, ”apakah engkau melubanginya sehingga dapat mengakibatkan engkau akan menenggelamkan penumpangnya?
18. Dia berkata, bukankah aku telah berkata, ’sungguh engkau sekali-kali tidak akan mampu sabar ikut dalam perjalanan bersamaku’?”
19. Mûsâ berkata, ”maafkanlah aku atas keterlanjuran yang disebabkan oleh kelupaanku terhadap janji yang telah aku berikan kepadamu, janganlah engkau bebani aku dalam keinginan dan tekadku mengikutimu dengan kesulitan yang tidak dapat kupikul”.
20. Hamba Allah yang shaleh itu memperkenankan permohonan maaf Nabi Mûsâ.
21. Mereka berjalan hingga tatkala keduanya bertemu dengan seorang anak remaja yang belum dewasa, maka serta merta hamba Allah yang shaleh itu membunuh remaja tersebut.
22. Mûsâ berkata, ”mengapa engkau membunuh seorang yang memiliki jiwa yang suci dari kedurhakaan? Apakah engkau membunuh tanpa dia membunuh satu jiwa orang lain? Sungguh engkau telah melakukan kemungkaran yang sangat besar.” dia berkata, ”bukankah aku telah berkata kepadamu secara khusus dan lansung untuk kedua kalinya bahwa ’sungguh engkau hai Mûsâ sekali-kali tidak akan mampu sabar ikut dalam perjalanan bersamaku’?”
23. Nabi Mûsâ sadar bahwa dia telah dua kali melakukan kesalahan, tapi tekadnya yang kuat mendorongnya bermohon agar diberi kesempatan terakhir. Untuk itu dia berkata, ”jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah ini maka aku rela dan dapat mengerti jika engkau tidak menemaniku lagi. Karena telah dua kali aku melanggar dan engkau telah dua kali pula memaafkanku”. Permintaan ini masih dikabulkan oleh hamba yang saleh itu.
24. Setelah peristiwa pembunuhan itu keduanya berjalan lagi untuk kedua kalinya, hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka berdua minta agar diberi makan oleh penduduk negeri itu tetapi mereka enggan menjadikan mereka berdua tamu, maka segera mereka berdua meninggalkan mereka dan tidak lama setelah meninggalnya, keduanya mendapati dalam negeri itu dinding sebuah rumah yang hampir roboh maka hamba Allah yang saleh itu menopang dan menegakkannya.
25. Mûsâ berkata, ”jikalau engkau maumengambil upah atas perbaikan atas perbaikan dinding sehingga dengan upah itu kita dapat membeli makanan.” dia berkata, ”inilah perpisahan antara aku denganmu”.
26. Namun demikian sebelum berpisah aku akan memberikan informasi yang pasti tentang makna dan tujuan di balik peristiwa yang engkau tidak dapat sabar atasnya.


Dalam pemaparan alur kisah ini tidak banyak perbedaan antara dua mufassir ini, perbedaan tersebut hanya terdapat pada beberapa hal, yaitu: pertama terjadi ketika mereka sampai di pertemuan dua laut, kalau menurut Quraish Shihab mereka hanya istirahat saja, tanpa menjelaskan bagaimana keadaan mareka, apakah sampai tertidur atau tidak tapi dalam penafsiran Hamka dinyatakan keadaan tersebut, bahwa mereka tertidur karena sangat lelah dalam perjalanan. Kedua, Hamka tidak menjelaskan dengan apa ikan yang telah mati tersebut itu dibungkus, dia menyebutkan bahwa ikan tersebut dibawa dengan menggunakan jijingan, sementara Quraish Shihab menyebutkan kalau ikan tersebut dibungkus dengan wadah yang terbuat dari daun korma. Ketiga, tentang hilangnya ikan yang dibawanya menurut, Quraish Shihab tidak ditemukan petunjuk yang kuat tentang hidup dan melompatnya ikan tersebut ke laut, boleh jadi sewaktu mereka beristirahat di batu yang disinggung di atas – yang letaknya di pinggir pantai atau di atas laut – pembantunya meletakkan bekal makanan termasuk tersebut di atas batu itu lalu dia lupa mengambilnya atau tersenggol sehingga ia terjatuh dan dibawa arus ketengah laut. Keempat Hamka menyebutkan bahwa anak yang dibunuh oleh hamba shaleh itu sedang bermain-main bersama temannya sementara Quraish Shihab tidak menjelaskan keadaan anak tersebut sebelum dibunuh oleh hamba Allah yang shaleh tersebut.

B. Penafsiran Tentang Ábdun Sholeh
Kisah perjalanan Nabi Mûsâ yang terdapat dalam surat al-Kahfi ayat 60 sampai 82 ini, penuh dengan misteri salah satu kemisteriusan kisah ini terdapat pada sosok hamba saleh, tokoh hamba saleh dalam kisah ini menjadi misteri karena tidak ada keterangan yang jelas dari al-Qur’an tentang siapa sebenarnya tokoh tersebut. Maka dalam skripsi ini kita akan mencoba melihat bagaimana penafsiran Hamka dan Quraish Shihab tentang hamba saleh tersebut.
Hamka Quraish Shihab
1. Ketika menafsirkan kata ‘Abdun Shaleh yang terdapat pada surat al-Kahfi ayat 66 Hamka lebih memilih untuk mengikuti pendapat jumhur-mufassirin, golongan terbesar dari ahli-ahli tafsir, mulai dari Ibnu Abbas sendiri sampai kepada ath-Thabari, dan sampai kepada Ibnu Kasir yang berpendapat bahwa hamba shaleh itu bernama Khidir.
2. Hamka memberikan informasi yang cukup panjang dan lebar tentang Khidir dalam tafsirnya. Menurut Hamka tidak ada kesepakatan pendapat tentang Khidir. Ada yang mengatakan bahwa dia itu Nabi! Ada pula yang berpendapat bahwa dia itu adalah seorang wali. Al-Mawadi dalam tasirnya mengatakan bahwa dia itu malaikat. Satu riwayat mengatakan bahwa maqamnya ialah dibawah kedudukan Nabi dan di atas kedudukan ash-Shidiq. Pendeknya di atas sedikit dari Abu Bakar, rendah sekit dari Nabi Muhammad. Khidir itu sendiri berarti hijau. Menurut satu riwayat dari mujahid, apabila dia sembahyang menjadi hijaulah rumput-rumput kering yang ada di sekeliling dia sembahyang itu. Maka macam-macamlah cerita orang tentang Nabi Khidir, ada golongan terutama dari kalangan kaum sufi yang mengatakan bahwa Khidir itu masih hidup, sampai sekarang. Katanya pula Nabi Khidir itu adalah anak langsung dari Nabi Adam dan Hawa yang tidak akan mati-mati. Baru dia akan mati setelah dia nanti membukakan kepalsuan Dajjal. Nabi Khidir adalah hamba Allah yang tidak kelihatan oleh mata biasa ini kecuali kepada orang yang diberi “kasyaf” oleh Allah Ta’ala. Yang lebih terkenal di kalangan kaum sufi adalah ceritera al-Imam Muhyiddin dan Ibnu ‘Arabi di dalam “Futuhat al-Makiyyah” bahwa dunia ini diatur oleh 9 orang Rijalul-gaib (orang-orang yang tidak kelihatan) yang disebut Wali-Quthub. Di antara yang sembilan itu ialah Nabi Khidir yang digelari juga Mudawil-Kulum (pengobat hati yang luka). Pimpinan dari orang sembilan itu disebut Ghauts. Arti yang asal dari Ghauts itu ialah hujan. Kalau kita minta apa-apa kepadanya, dia akan menurunkan rahmat kepada kita laksana hujan. Kata sebagian besar mereka ghauts itu ialah sayid Abdul Qadir Jailani. Maka Nabi Khidir itu menurut mereka masih di bawah dari Sayid Abdul Qadir. Menurut dongeng yang lebih kocak lagi ialah bahwa Nabi Khidir itu selalu ada di pintu Bab as-Salam di Mekkah. Rupanya dapat berobah-robah, sehingga tidak disangka orang bahwa itulah dia, kita tekan empu-jarinya tidak ada tulang. Orang menjadi “agak percaya” karena bertemu pula sebuah hadis (mauquf, dari sahabat Rasulullah s.a.w.) mengatakan bahwa seketika Rasulullah saw telah wafat, waktu orang tengah memandikan jenazah beliau yang mulia, kedengaran suara, sedang orangnya tidak kelihatan. Suara itu sebagai tazkiyah menunjukkan dukacita kepada ahlul-mait.
3. Pada akhir penafsirannya, Hamka memberikan pandangan, tentang bagaimana sebaiknya memahami cerita tentang Nabi Khidir yang penuh misterius tersebut seperti ungkapan yang menyatakan bahwa ’Khidir itu masih hidup’ menurut Hamka pernyataan ini tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak dapat dipertahankan menurut ajaran agama Islam:
a. Sabda Tuhan di dalam al-Qur’an (surat al-Anbiya’: 34)
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ.
Artinya: Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?
b. Kalau memang dia hidup terus, dan kalau memang dia anak kandung Nabi Adam dengan Hawa, niscaya ada agaknya seorang Nabi yang ditemuinya selain Mûsâ. Padahal dia hanya bertemu dengan Nabi Mûsâ a.s.
c. Riwayat Hadis yang mengatakan bahwa terdengar suara tazkiyah yang diyakini dilafazkan oleh khidir ketika orang memandikan jenazah Rasulullah yang mulia, tetapi sanad dari riwayat itu menunjukkan bahwa hadis itu tidak sah jalannya sanadnya. Abu Husain bin al-Munawi menegaskan: setelah saya selidiki tentang cerita Khidir itu apakah dia memang masih hidup atau sudah mati? Maka kenyataannya adalah bahwa kebanyakan orang yang tertipu mengatakannya dia masih hidup ialah karena berpegang kepada hadis itu. Padahal hadis-hadis yang marfu’ dalam hal itu semuanya wahiyah (lemah lebih lagi dari dha’if)
d. Imam Bukhari perawi hadis yang terkenal dan beberapa Ahlul-Hadis yang lain menegaskan bahwa Khidir itu telah mati.
e. Pengarang tafsir Fathul Bayaan berkata: “pernyataan yang benar ialah yang apa dikatakan oleh Bukhari dan yang sependapat dalam hal itu. Siapa pun yang mengatakan bahwa khidir itu masih hidup, kalau tidak ada sandarannya dari keterangan Allah dan Rasul yang mengatakan bahwa Khidir itu masih hidup, dan tidak ada pula hadis marfu’ yang akan dijadikan pegangan maka hal ini tidak dapat dipertanggungjawabkan dan harus ditolak”. Kenyataan keteranan Kitab dan Sunnah yang dapat kita fahami ialah bahwa tidak ada seorang manusia pun yang kekal hidup beratus tahun. Qur’an dan Sunnahlah yang menutup riwayat semacam itu, bukan riwayat semacam itu yang mesti membatalkan Qur’an dan Sunnah.
f. Abu Hayyan menyatakan dalam tafsirnya: “kalau benar ia masih hidup, dia mesti datang menghadap Nabi Muhammad saw sebab Nabi kita pernah berkata:
لََوْ كاَنَ مُوْسَى حَيًّا مَاوَسِعَهُ إِلاَّ اتِّبَاعِيْ
Artinya: “kalau Mûsâ masih hidup, tidak ada jalan baginya, melainkan menjadi pengikutku.”

Maka tidaklah ada bertemu sebuah hadis pun yang mengisyaratkan bahwa Khidir atau Nabi panjang umur melaporkan diri kepada Nabi Muhammad saw. Kalau Imam Bukhari sendiri yang menegaskan beliau telah mati, hadis mana lagi yang akan kita ambil untuk mengimbangi.
g. Ada juga ulama besar ternama mempercayai Khidir itu memang masih hidup, yaitu Imam Nawawi yang terkenal di dalam kitabnya “at-Tahdziib” kata beliau: “banyak orang mengatakan bahwa dia hidup, ada di antara kita”. Hal itu disepakati di antara ahli-hali sufiyah dan ahli-ahli yang shahih dan ahli ma’rifah. Dan cerita mereka itu tentang pernah melihat dia, berjabat tangan dengan dia, mengambil pelajaran dari dia, bertanya kepadanya dan bertemu dengan dia di tempat-tempat yang mulia sangatlah banyak sehingga tak terhitung lagi dan sudah sangat masyhur sehingga tak usah dikatakan lagi.
h. Tetapi ulama yang bersikap tegas dengan pendirian bahwa Khidir itu sekarang tidak ada lagi, hanya bertemu dengan Nabi Mûsâ satu kali dan mati di zaman itu ialah Ibnu Manawi, Ibrahim al-Harabi, Abu Thaher al-‘Ubbadi, Abu Ya’laa al-Hanbali, Abu Fadhl bin Nashir, al-Qadhi Abi Bakar Ibn al-‘Arabi, Abu Bakar an-Naqqasy, dan Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauzi. Ibnu Taimiyah malah mengatakan: “kalau ada orang yang mengatakan bahwa dia melihat Khidir, yang dilihatnya itu adalah Jin.” Dan beliau pun mengatakan bahwa tidak ada seorang pun dari sahabat Rasulullah saw yang mengatakan bahwa mereka ada bertemu dengan Khidir dan tidak ada pula riwayat mereka yang mengatakan bahwa ada orang yang mengaku dirinya Khidir datang menghadap Nabi. Sahabat-sahabat Nabi saw itu lebih alim dan lebih tinggi martabatnya, sehingga syetan tidak ada yang berani merupakan diri kepada mereka, kalau orang kebanyakan mungkin dapat demikian. Syetan datang memperlihatkan wujud seperti manusia dan berkata: “saya Khidir” dan dia berjanji hendak menolong orang itu, seperti ada juga orang yang mengaku dirinya didatangi oleh orang yang telah mati, berbicara dengannya, dan sanggup menolongnya untuk melepaskan hajatnya, orang menyangka bahwa yang dating tersebut benar-benar orang yang telah mati (mayat) tersebut, padahal yang dating tersebut adalah syetan yang menyerupakan diri seperti orang yang telah meninggal itu.
Setelah memberikan informasi tentang sosok misterius yang menurut sebagian mufassir bernama Khidir itu, sebagai penutup Hamka memberikan pandangannya, bahwa: “sudah berkali-kali umat Islam menghadapi percobaan yang besar-besar dan hebat di dalam sejarahnya selama 14 abad”. Yang sangat terkenal ialah seketika terjadi Perang Salib, tentara besar dari Bangsa Eropa pemeluk agama Kristen merebut Palestina dari tangan kaum muslimin, sehingga sampai 70.000 muslim yang dibunuh di sekitar al-Masjidil Aqsha. Namun tidak ada berita bahwa Khidir “Mudawil Kulum” dating membantu. Hanya usaha dari kaum muslimin juga yang dapat melepaskan diri mereka dari bahaya. Disamping itu terjadi pula masuknya bangsa Moghul menghancurkan Baghdad (656 H/1286 M). kota tersebut hancur, khalifah dibunuh dan berjuta kaum muslimin disembelih, namun Nabi Khidir tidak muncul. Kaum muslim telah terusir dari Spanyol tetapi Nabi Khidir juga tidak datang. Banyak lagi sejarah yang lain, Nabi Khidir diam seribu bahasa, bukan diam tetapi nabi Khidir itu tidak ada. Di zaman sekarang ini, yaitu di waktu kita hedak mengembalikan keyakinan beragama kita kepada ajaran Rasulullah saw yang sejati, cerita-cerita seperti Kisah Nabi Khidir dan yang menyerupai kisah tersebut sudah sepatutnya kita hapus. Tidaklah kita akan sesat dari ajaran agama kita, kalau dengan tegas kita katakan: “cerita bahwa nabi Khidir masih hidup dan tidak akan mati sampai kelak dapat mengalahkan Dajjal itu hanyalah dongeng yang hanya berlaku dalam fikiran yang masih gelap. Fikiran yang belum disinari oleh ilmu pengetahuan, atau oleh Ilmiah-Diniyyah. Ilmu pengetahuan keagamaan yang dapat dipertanggungjawabkan 1. Quraish Shihab ketika menafsirkan kalimat ‘Abdun Shaleh lebih memilih menafsirkan dengan kalimat hamba shaleh saja.
2. Qurasih Shihab hanya sedikit memberikan keterang tentang sosok misterius Khidir, menurut dia: banyak ulama yang berpendapat bahwa hamba Allah yang dimaksud di sini adalah seorang nabi yang bernama al-Khidir. Tetapi riwayat tentang beliau sungguh sangat beragam dan sering kali dibumbui oleh hal-hal yang bersifat irasional. Apakah beliau Nabi atau bukan, dari Bani Israil atau selainnya, masih hidup hingga kini atau telah wafat, dan masih banyak hal lain, kesemuanya dengan rincian pendapat yang bermacam-macam yang terdapat dalam banyak buku tafsir. Kata al-Khidir sendiri bermakna hijau. Nabi saw. bersabda bahwa penamaan itu disebabkan oleh karena suatu ketika ia duduk di bulu yang berwarna putih, tiba-tiba warnanya berubah menjadi hijau (HR. Bukhari melalui Abu Hurairah). Agaknya penamaan serta warna itu sebagai simbol keberkatan yang menyertai hamba Allah yang istimewa itu

Dalam menafsirkan kalimat ’Abdun Shaleh Qurish Shihab lebih cenderung menafsirkannya dengan kata Hamba Allah saja, hal ini dilakukan oleh Quraish Shihab menurut penulis lebih karena rasionalitas Quraish Shihab, karena tidak ada penjelasan dan keterangan yang lebih dari al-Qur’an tentang kisah ’Abdun Shaleh selain yang terdapat dalam surat al-Kahfi ini. Sedikitnya keterangan yang diberikan oleh Quraish Shihab tentang sosok misterius Khidir, menurut pendapat penulis dilatar-belakangi oleh beberapa hal, pertama: sesuai dengan nama tafsirnya, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an) maka dalam menafsirkan kisah ini Quraish Shihab lebih memfokuskan penafsirannya pada pengambilan pesan-pesan dan pelajaran yang dapat dipetik dari kisah perjalanan Mûsâ dengan hamba shaleh tersebut dan membiarkan sosok Khidir dengan segala kemisteriusannya, ini bisa kita lihat melalui komentar Quraish Shihab ”sebelum mengurai pesan dan kesan yang ditarik dari ayat-ayat kisah ini, ”baiklah terlebih dahulu kita merujuk kepada sekian ulama untuk menemukan keserasian ayat-ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya dan juga dalam komentarnya mengapa kisah yang dipaparkan oleh al-Qur’an ini tidak menyebutkan bagaimana awalnya”. Boleh jadi menurut Quraish Shihab karena tidak terlalu banyak pesan yang perlu disampaikan atau dikandung oleh awal kisahnya.” Kedua, disebabkan karena Quraish Shihab tidak terlalu dalam menggeluti ilmu tasawuf, sementara riwayat tentang Khidir dan segala kemisteriusannya lebih banyak dikalangan sufi. Ketiga karena perbedaan kondisi masyarakat yang dihadapi oleh Quraish Shihab tidaklagi tertarik untuk membahas masalah-masalah yang mistis seperti pada zaman Hamka.
Berbeda dengan Quraish Shihab, Hamka dengan pengetahuan yang cukup dalam tentang ilmu tasawuf. Walaupun menurut sebagian orang Hamka belum bisa disebut sebagai salah satu tokoh tasawuf, karena pemikiran Hamka dalam buku Tasawuf Modern yang berusaha mendudukan kembali tasawuf sebagai objek kajian ilmiah, dan wahana peribadatan yang mendekatkan seorang muslim kepada Allah, dengan memisahkannya dari akses-akses yang terjadi dalam penerapan, tidaklah mencerminkan ajaran tassawuf karena kedudukan tasawuf akan selalu berada di atas syari’at. Terlepas dari kontroversi tersebut, kita dapat melihat kapasitas keilmuan yang dimiliki oleh Hamka dalam bidang tasawuf, dengan luas dan banyaknya informasi yang diberikan oleh Hamka tentang sosok Khidir, yang mendapat tempat yang istimewa di kalangan ahli tasawuf. Di akhir penafsirnnya, Hamka memberikan pandangannya bagaimana sebaiknya memahami segala kabar atau cerita tentang sosok Khidir yang misterius itu. Ketiga, karena perbedaan situasi dan kondisi yang dialami oleh kedua mufassir ini ketika mereka menulis tafsirnya. Karena situasi dan kondisi akan mempengaruhi pola fikir mereka. Keempat, menafsirkan al-Qur’an merupakan suatu usaha untuk memberikan pemahaman tentang pesan-pesan yang disampaikan oleh Allah kepada masyarakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kondisi masyarakat yang dihadapi oleh Hamka mungkin masih tertarik untuk membahas dan membicarakan masalah-masalah yang bernuansa sufiistik sementara masyarakat yang dihadapi oleh Quraish Shihab tidak merasa tertarik lagi untuk membahas hal tersebut, sehingga nuansa penafsiran terhadap kisah ini pun menjadi berbeda.
C. Pelajaran dibalik Kisah
Kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an diyakini bukan hanya untuk menyampaikan tentang sejarah umat masa lalu saja tetapi lebih dari itu, kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an tersebut adalah untuk dijadikan sebagai pelajaran karena dalam kisah-kisah yang disampaikan oleh al-Qur’an banyak mengandung pesan-pesan moral untuk umat yang akan datang, demikian juga dengan kisah perjalanan Nabi Mûsâ dengan ‘Abdun Shaleh ini serat dengan pelajaran yang harus kita petik.

Hamka Quraish Shihab
1. Larangan untuk bersikap sombong
2. Anjuran bagi setiap pemuka, pemimpin dan manusia-manusia yang merasa memiliki tanggungjawab, agar melakukan studi banding, supaya kebenaran jangan hanya dipandang dari satu pihak saja.
3. Tata cara atau adab dalam menuntut ilmu yang harus dimiliki di antaranya keinginan yang kuat, dan keyakinan untuk menghadapi semua rintangan yang menghalangi
4. Kewajiban untuk menuntut ilmu bagi setiap muslim.
5. Larangan untuk menilai seseorang dari status sosialnya, karena kemulian tidak hanya didapat dari status sosial. Mûsâ seorang nabi yang mulia saja masih harus belajar kepada Khidir dalam hal ini sebagai seorang ‘alim atau ilmuwan maka menurut Hamka, bukan saja Mûsâ yang mesti mencari Khidir untuk menuntut ilmu dan menambah pengalaman, melainkan setiap setiap orang yang bertanggung jawab hendaklah mencari Khidir! Kadang-kadang Khidir itu memang tidak dikenal orang. Kadang-kadang ia tinggal di kampung yang jauh, di lereng bukit. Mungkin kita sendiri sering atau pernah mengalami pertemuan atau perkenalan dengan orang yang biasa-biasa saja, tidak dikenal, terpencil di dusun jauh, atau di lereng gunung, namun butir perkataannya penuh berisi hikmah yang benar. Dia bukan Profesor, namun kejernihan fikirannya dapat dijadikan pedoman hidup bagi kita yang sibuk. Kalau dipandang dari segi ini, bolehlah dikatakan bahwa Khidir itu selalu ada, tidak hanya satu orang, dan tidak mati, melainkan berganti-ganti. Asal pandai mencarinya dia akan bertemu.”
6. Kita jangan hanya melihat sesuatu secara lahirnya saja, yang tidak tampak pun harus kita perhatikan karena yang bathin atau yang tidak kelihatan, banyak terdapat makna dan pelajaran yang berharga 1. Setiap peristiwa yang terjadi dimuka bumi ini memiliki makna atau takwil, walaupun pada waktu terjadi peristiwa tersebut tidak terlihat, namun di suatu waktu akan kelihatan.
2. Larangan membantah pernyataan yang disampaikan oleh orang yang memang telah terbukti ahli dalam bidang tersebut, tanpa memiliki pengetahuan tentang hal tersebut.
3. Larangan berbantah-bantah atau diskusi yang tanpa dasar, serta mengharuskan siapa pun kepada tunduk kepada kebenaran jika telah dijelaskan dan terbukti
4. Mengajak kita untuk tidak membedakan orang hanya karena status sosialnya.
5. melihat Kisah Ini mengajarkan kepada kita agar tidak enggan duduk bersama dengan fakir miskin, bagaimana Mûsâ Nabi dan Rasul Yang memperoleh kemulian berbicara dengan Allah tidak enggan belajar dari seorang hamba Allah.
6. Setiap Hal yang lahir juga memeiliki sisi batiniahnya, yang mempunyai peranan yang tidak kecil bagi lahirnya hal-hal lahiriah.
7. Seorang pelajar harus memiliki tekad yang kuat dan bersungguh-sungguh untuk mencurahkan perhatian bahkan tenaganya, tehadap apa yang akan dipelajarinya.
8. Seorang pendidik, hendaknya menuntun anak didiknya dan memberi tahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu, bahkan mengarahkan anak didiknya untuk tidak mempelajari sesuatu yang tidak sesuai dengan bakat dan potensi yang dimiliki oleh anak didiknya .
9. Dalam mengucapkan sebuah janji kita tidak boleh melepaskan diri dari tuntunan syariat.
10. Adanya kebolehan untuk melakukan kemudharatan yang kecil guna untuk menghidari kemudharatan yang lebih besar.
11. Jangan melihat sesuatu hanya secara lahirnya saja karena pada sisi bathin atau yang tidak kelihatan, banyak terdapat makna dan pelajaran yang berharga.

read more

Quraish Shihab dan Tafsir al-Misbah

1 komentar
1. Biografi
Muhammad Quraish Shihab merupakan salah seorang ulama dan cendikiawan muslim Indonesia dalam bidang tafsir al-Qur’an lahir pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Sulawesi Selatan. Quraish Shihab adalah sosok yang berperawakan tegab dan kharismatik dengan tinggi 172 cm, berat 91 kg, warna rambut hitam, muka lonjong, dan kulit berwarna putih . Beliau merupakan putra dari salah seorang wirausahawan dan juga seorang guru besar dalam bidang tafsir yang memiliki reputasi baik dalam dunia pendidikan di Sulawesi Selatan yaitu Prof. KH. Abdurrahma Shihab (1905-1986). Konstribusinya terbukti dalam usahanya membina perguruan tinggi di Ujung Pandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan IAIN Alauddin Ujung Pandang. . dalam kesibukannya sebagai seorang guru besar Abdurrahman Shihab masih sering menyisihkan waktunya untuk keluarganya, saat-saat seperti ini dimanfaatkan untuk memberikan petuah-petuah keagamaan yang kebanyakan berupa ayat-ayat al-Qur’an kepada Putra-Putrinya . Dari petuah-petuah keagamaan yang berasal dari ayat-ayat al-Qur’an, hadis-hadis nabi, serta perkataan sahabat maupun pakar-pakar ilmu al-Qur’an yang diberikan oleh orang tuanya inilah Quraish Shihab mendapatkan motivasi awal dan benih-benih kecitaan terhadap bidang studi tafsir.
Pendidikan formal yang ditempuh oleh M. Qurais Shihab, dimulai dari sekolah dasar di Ujung Pandang, kemudian dilanjutkan dengan sekolah menengah, sambil belajar agama di Pondok Pesantren Dar Hadis al-Fiqhiyah di kota Malang, Jawa Timur (1956-1958). Pada tahun 1958, ketika ia berusia 14 tahun ia dikirim oleh ayahnya ke Al-Azhar Kairo Mesir untuk mendalami studi keislaman, dan diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar. Setelah selesai, Quraish Shihab berminat melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, tetapi ia tidak diterima karena belum memenuhi syarat yang telah ditetapkan karena itu ia bersedia untuk mengulang setahun guna mendapatkan kesempatan studi di Jurusan Tafsir Hadis walaupun jurusan-jurusan lain terbuka lebar untuknya. Pada tahun 1967 ia dapat menyelesaikan kuliahnya dan mendapatkan gelar Lc. Karena “kehausannya” dalam ilmu al-Qur’an ia melanjutkan kembali pendidikannya dan berhasil meraih gelar MA pada tahun 1968 untuk spesalisasi di bidang tafsir al-Qur’an dengan tesis berjudul “Al-I’jaz at-Tasyri’I al-Qur’an al-Karim.
Setelah meraih gelar MA. Quraish Shihab tidak lansung melanjutkan studinya ke program doktor, melainkan kembali ke kampung halamannya di Ujung Pandang. Dalam periode lebih kurang 11 tahun (1969-1980) ia terjun ke berbagai aktifitas, membantu ayahnya mengelola pendidikan di IAIN Alauddin, dengan memegang jabatan sebagai Wakil Ketua Rektor di bidang Akdemis dan Kemahasiswaan (1972-1980), koordinator bidang Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia bagian timur.
Selain itu di luar kampus Quraish Shihab dipercaya sebagai Wakil Ketua Kepolisian Indonesia Bagian Timur dalam bidang penyuluhan mental. Selama di Ujung Pandang ia melakukan berbagai penelitian, di antaranya dengan tema: “Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur” (1975) dan “Masalah Wakaf di Sulawesi Selatan” (1978).
Pada tahun 1980 Quraish Shihab kembali ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan pendidikannya, mengambil spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur’an, dalam kurun waktu dua tahun (1982 ia berhasil meraih gelar doctor dengan disertasi yang berjudul Nazhm al-Durar li al-Biqa’I Tahqiq wa Dirasah (suatu kajian terhadap kitab Nazhm ad-Durar karya al-Biqa’i) dengan predikat Summa Cum Laude dengan penghargaan mumtaz ma’a martabah al-Syarafal ula.
Babak baru karir Quraish Shihab mulai pada tahun 1984 saat beliau pindah tugas dari IAIN Alaudin, Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di sini Quraish Shihab aktif mengajar dalam bidang tafsir dan ulum al-Qur’an di program S1, S2, dan S3. dan beliau juga mendapat jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta dalam dua periode yaitu pada tahun 1992-1996 dan 1997-1998, ia juga dipercaya menjadi Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, pada kabinet terakhir Soeharto, kabinet Pembangunan IV. Pada tahun 1999, Quraish Shihab diangkat menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir yang berkedudukan di Kairo
Karena keahliannya dalam bidang kajian al-Qur’an maka nama Quraish Shihab cepat melambung dan ia pun dilibatkan dalam berbagai forum tingkat nasional seperti:
a. Wakil ketua MUI (1984-1996)
b. Anggota Latnah Pentashih al-Qur’an Depag (1989)
c. Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (1989)
Organisasi nasional yang pernah diduduki oleh Quraish Shihab adalah:
a. Organisasi Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari’at
b. Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Depdikbud
c. ICMI
2. Tafsir al-Misbah
Quraish Shihab merupakan salah seorang penulis yang produktif yang menulis berbagai karya ilmiah baik yang berupa artikel dalam majalah maupun yang berbentuk buku yang diterbitkan. Quraish Shihab juga menulis berbagai wilayah kajian yang menyentuh permasalahan hidup dan kehidupan dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Salah satu karya yang fenomenal dari Quraish Shihab adalah tafsir al-Misbah. Tafsir yang terdiri dari 15 volume ini mulai ditulis pada tahun 2000 sampai 2004.
Pengambilan nama Al-Misbah pada kitab tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab tentu saja bukan tanpa alasan. Bila dilihat dari kata pengantarnya ditemukan penjelasan yaitu al-Misbah berarti lampu, pelita, lentera atau benda lain yang berfungsi serupa, yaitu memberi penerangan bagi mereka yang berda dalam kegelapan. Dengan memilih nama ini, dapat diduga bahwa Quraish Shihab berharap tafsir yang ditulisnya dapat memberikan penerangan dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami makna al-Qur’an secara lansung karena kendala bahasa. Menurut analisis Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA, alasan pemilihan nama Al-Misbah ini paling tidak mencakup dua hal yaitu: pertama, pemilihan nama ini didasarkan pada fungsinya. Al-Misbah artinya lampu yang fungsinya untuk menerangi kegelapan. Menurut Hamdani, dengan memilih nama ini, penulisnya berharap agar karyanya itu dapat dijadikan sebagai pegangan bagi mereka yang berada dalam suasana kegelapan dalam mencari petunjuk yang dapat dijadikan pegangan hidup. Al-Qur’an itu adalah petunjuk, tapi karena al-Qur’an disampaikan dengan bahasa Arab, sehingga banyak orang yang kesulitan memahaminya. Disinilah manfaat tafsir Al-Misbah diharapkan, yaitu dapat membantu mereka yang kesulitan memahami wahyu ilahi tersebut.
Kedua, pemilihan nama ini didasarkan pada awal kegiatan Quraish Shihab dalam hal tulis-menulis di Jakarta. Sebelum beliau bermukim di Jakarta pun, memang sudah aktif menulis tetapi produktifitasnya sebagai penulis dapat dinilai, mulai mendapat momentumnya setelah bermukim di Jakarta. Pada 1980-an, beliau menulis rubrik “Pelita Hati” pada harian Pelita. Pada 1994, kumpulan tulisannya diterbitkan oleh mizan dengan judul Lentera Hati. Dari sinilah, papar Hamdani, tentang alasan pengambilan nama Al-Misbah, yaitu bila dilihat dari maknanya. Kumpulan tulisan pada rubrik “Pelita Hati” diterbitkan dengan judul Lentera Hati. Lentera merupakan padanan kata dari pelita yang arti dan fungsinya sama. Dalam bahasa arab, lentera, pelita, atau lampu disebut Misbah, dan kata inilah yang kemudian dipakai oleh Quraish Shihab untuk dijadikan nama karyanya itu. Penerbitannya pun menggunakan nama yang serupa yaitu Lentera Hati.
Latar belakang penulisan tafsir al-Misbah ini diawali oleh penafsiran sebelumnya yang berjudul “tafsir al-Qur’an al-Karim” pada tahun 1997 yang dianggap kurang menarik minat orang banyak, bahkan sebagian mereka menilainya bertele-tele dalam menguraikan pengertian kosa kata atau kaidah-kaida yang disajikan. Akhirnya Muhammad Quraish Shihab tidak melanjutkan upaya itu. Di sisi lain banyak kaum muslimin yang membaca surah-surah tertentu dari al-Qur’an, seperti surah Yasin, al-Waqi’ah, al-Rahman dan lain-lain merujuk kepada hadis dhoif, misalnya bahwa membaca surah al-Waqi’ah mengandung kehadiran rizki. Dalam tafsir al-Misbah selalu dijelaskan tema pokok surah-surah al-Qur’an atau tujuan utama yang berkisar di sekililing ayat-ayat dari surah itu agar membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar.
Jadi jelas bahwa yang melatar belakangi lahirnya Tafsir al-Misbah ini adalah karena antusias masyarakat terhadap al-Qur’an di satu sisi baik dengan cara membaca dan melagukannya. Namun di sisi lain dari segi pemahaman terhadap al-Qur’an masih jauh dari memadai yang disebabkan oleh faktor bahasa dan ilmu yang kurang memadai, sehingga tidak jarang orang membaca ayat-ayat tertentu untuk mengusir hal-hal yang ghaib seperti jin dan setan serta lain sebagainya. Padahal semestinya ayat-ayat itu harus dijadikan sebagai hudan (petunjuk) bagi manusia.
Setiap tafsir tentu memiliki rujukan tertentu begitu juga dengan tafsir al-Misbah. Hamdani Anwar mengatakan : “Bahwa sumber penafsiran yang dipergunakan pada tafsir al-Misbah ada dua, pertama, bersumber dari ijtihad penulisnya. Sedang yang kedua, adalah bahwa dalam rangka menguatkan ijtihadnya, ia juga mempergunakan sumber-sumber rujukan yang berasal dari pendapat dan fatwa ulama, baik yang terdahulu maupun mereka yang masih hidup dewasa ini.”
Tafsir al-Misbah bukan semata-mata hasil ijtihad Quraish Shihab, hal ini diakui sendiri oleh penulisnya dalam kata pengantarnya ia mengatakan:
Akhirnya, penulis (Muhammad Quraish Shihab) merasa sangat perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan disini bukan sepenuhnya ijtihad penulis. Hasil karya ulama-ulam terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibnu Umaral-Baqa’I (w. 887 H/1480M) yang karya tafsirnya ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan Disertasi penulis di Universitas al-Azhar Cairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian pula karya tafsir pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthawi, juga Syekh Mutawalli al-Sya’rawi, dan tidak ketinggalan Sayyid Quthub, Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’I, serta beberapa pakar tafsir yang lain.

read more

Hamka dan Tafsir al-Azhar

2 komentar
1. Biografi Hamka
Ketika kaum muda Minang sedang gencar-gencarnya melakukan gerakan pembaharuan di Minang Kabua maka ketika itu Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal dengan panggilan Hamka yang merupakan salah satu putra terbaik Minang Kabau, dilahirkan di Tanah Sirah desa Sungai Batang di tepi Danau Maninjau (Sumatra Barat) tepatnya pada tanggal 17 Februari 1908 pada tahun Masehi atau 14 Muharam 1326 H.
Ayahnya Dr. H. Abdul Karim Amrullah yang juga dikenal dengan sebutan Haji Rasul termasuk keturunan Abdul Arif gelar Tuanku Pauh Pariaman Nan Tuo, salah seorang pahlawan paderi yang juga dikenal Haji Abdul Ahmad. Dr. H. Abdul Karim Amrullah juga merupakan salah seorang ulama terkemuka yang termasuk dalam tiga serangkai yaitu Syekh Muhammad Djamil Djambek, Dr. H. Abdullah Ahmad dan Dr. H. Abdul Karim Amrullah sendiri , yang menjadi pelopor gerakan “Kaum Muda” di Minang Kabau.
Keulamaan, predikat yang telah diwarisi oleh Hamka secara geneologis ikut ditanamkan oleh andung (nenek) kepadanya, lewat cerita “sepuluh tahun” menjelang tidur. Cerita “sepuluh tahun” itu serta aktivitas ayahnya sebagai seorang ulama besar di zamannya, telah memasuki alam bawah sadar Hamka. Keulamaan ini pulalah yang dipilih oleh Hamka sebagai kawasan dimana ia memanifestasikan dirinya dalam berbagai ragam aktifitas yakni sebagai sastrawan, budayawan, ilmuwan Islam, Mubaligh, pendidik, bahkan menjadi seorang politisi.
Abdul Malik panggilan Hamka di waktu kecil, mengawali pendidikannya dengan belajar membaca al-Qurán di rumah orang tuanya sampai khatam al-Qur’an, ketika mereka sekeluarga pindah dari Meninjau ke Padang Panjang yang merupakan basis pergerakan kaum muda Minang Kabau pada tahun 1914 M. Sama dengan anak-anak sebayanya, dalam usia tujuh tahun Hamka dimasukkan ke sekolah desa.
Pada tahun 1916, ketika Zainuddin Labai el-Yunusi mendirikan sekolah Diniyah (sore), di Pasar Usang Padang panjang, Hamka dimasukkan oleh ayahnya ke sekolah ini. Pagi hari Hamka pergi belajar ke sekolah desa, sore hari belajar ke sekolah Diniyah, yang baru didirikan itu, dan malam hari belajar mengaji. Seperti itulah aktifitas kesehari dari Hamka di masa kecilnya.
Ternyata kegiatan rutin seperti ini sangat tidak menarik bagi Hamka, yang dirasakannya sebagai belenggu yang mengikat dan mengekang kebebasan masa kanak-kanaknya. Kondisi terkekang ini dan kemudian di pertajam lagi oleh sikap ayahnya yang otoriter sebagai seorang ulama yang disegani ketika itu, sehingga berakibat tumbuhnya prilaku menyimpang dalam diri Hamka, ia tumbuh menjadi seorang anak yang nakal, pernah mencuri ayam bersama teman-teman sebayanya, suka berkelahi dan terkenal sebagai anak yang pemberani di kampungnya . Hal ini dibenarkan oleh A.R. Sutan Mansur, orang yang sangat berpengaruh dalam pertumbuhan pribadi Hamka sebagai seorang mubaligh. .
Pada tahun 1918, di saat Abdul Malik, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Hamka baru berusia 10 tahun, dan beliau pada waktu itu sudah dikhitan di kampung halamannya Maninjau dan diwaktu yang sama ayahnya Syekh Abdul Karim Amrullah, kembali dari perlawatan pertamanya ke tanah Jawa, surau Jembatan Besi tempat Syekh Abdul Karim Amrullah memberikan pelajaran agama dengan sistem lama, dirobah menjadi madrasah yang kemudian dikenal dengan nama Thawalib School. Dengan harapan agar kelak anaknya menjadi ulama seperti dia, Syekh Abdul Karim Amrullah memasukkan Hamka ke Thawalib School dan berhenti dari sekolah desa.
Meskipun sistem klasikal sudah di berlakukan oleh Thawalib School namun kurikulum dan materi pembelajaran masih menggunakan cara lama. Buku-buku lama dengan keharusan menghafal masih merupakan ciri utama sekolah ini. Hal inilah yang membuat Hamka cepat bosan, meskipun ia tetap naik kelas.
Setelah belajar selama empat tahun sampai ia menduduki bangku kelas empat, mungkin karena sikap kritis dan jiwa pemberontak yang dimilikinya, Hamka tidak lagi tertarik untuk menyelesaikan pendidikan di sekolah yang didirikan oleh ayahnya itu, sementara program pendidikan di sekolah ini dirancang untuk pendidikan selama tujuh tahun.
Keadaan belajar yang diterapkan seperti di Thawalib School itu memang tidaklah menarik, karena keseriusan belajar tidak tumbuh dari dalam, tetapi dipaksakan dari luar, hal ini yang kemudian membuat Hamka melakukan pelarian sesuai dengan kejolak jiwanya yang sedang mencari jatidirinya. Keadaan inilah yang kemudian membawa Hamka menenggelamkan diri di sebuah perpustakaan yang didirikan oleh Zainuddin Labay el-Yunusi dan Bagindo Sinaro, yang diberi nama Perpustakaan Zainaro. Pelarian ini, walaupun kurang disukai oleh ayahnya, ternyata ini merupakan pelarian yang positif . Karena setelah asyik menenggelamkan diri dengan membaca buku-buku cerita dan sejarah di perpustakaan tersebut telah membentuk kegairahan tertentu bagi Hamka dan banyak memberikan andil bagi perkembangan imajinasi dimasa kanak-kanak serta kemampuan bercerita dan menulis di belakang hari.
Pada masa-masa pendidikannya Hamka juga pernah dikirim untuk belajar di sekolah Syekh Ibrahim Mûsâ Parabek, di Parabek Bukit Tinggi, namun ini juga tidak berlansung lama karena pada tahun 1924, Hamka meninggalkan Ranah Minang dan berangkat ke Yogyakarta.
Secara keseluruahan masa pendidikan formal yang pernah di tempuh Hamka hanya sekitar tujuh tahun, yaitu antara tahun 1916 sampai tahun 1924. dimana pada masa-masa itu beliau pernah masuk sekolah desa, juga belajar pendidikan agama pada Diniyah School dan Sumatra Thawalib Padang Panjang dan Surau Inyiak Parabek di Bukit Tinggi, disamping itu Hamka juga sempat belajar dengan ulama-ulam besar seperti ayahnya sendiri, kemudian dengan Engku Mudo Abdul Hamid, Zainuddin Labay el-Yunusi dan Syekh Ibrahim Musa Parabek.
Kunjungan Hamka ke tanah Jawa yang relatif singkat itu, lebih kurang satu tahun, dalam pengakuan Hamka perjalanan beliau itu mampu memberikan semangat baru baginya dalam mempelajari Islam. Rantua (negeri kunjungan) pengembaraan pencarian ilmu ditanah jawa itu, yang beliau mulai dari Yogyakarta dan Pekalongan. Lewat Ja’far Amrullah pamannya, Hamka kemudian mendapat kesempatan mengikuti kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan Syarikat Islam.
Dalam kesempatan itu pula Hamka bertemu dengan Ki Bagus Hadikusumo, dan darinya Hamka mendapatkan pelajaran tafsir al-Qur’an. Ia juga bertemu dengan HOS Cokroaminoto dan mendengarkan ceramahnya tentang islam dan Sosialisme. Di samping itu juga berkesempatan bertukar pikiran dengan dengan beberapa tokoh penting lainnya seperti Haji Fakhruddin dan Syamsul Ridjal.
2. Tafsir al-Azhar
Tafsir al-Azhar berasal dari kuliah subuh yang diberikan oleh Buya Hamka di mesjid Agung al-Azhar sejak tahun 1959, yang ketika itu belum bernama al-Azhar. Cermah-ceramah Hamka sehabis shalat shubuh di Mesjid al-Azhar yang mengupas tafsir al-Qur’an dimuat secara teratur di majalah Gema Islam, tanpa diduga sebelumnya pada hari Senin 12 Ramdhan 1983 yang bertepatan dengan tanggal 27 Januari 1964, sesaat setelah Hamka memberikan pengajian di hadapan lebih kurang 100 orang kaum ibu di mesjid al-Azhar, ia di tangkap oleh penguasa orde lama lalu di jebloskan kedalam penjara. Sebagai tahanan politik Hamka di tempatkan di beberapa rumah peristirahatan di kawasan puncak, yakni bungalow Herlina, Harjuna, bungalow Brimob Megamendung dan kamar tahanan polisi Cimacan, di rumah tahanan inilah Hamka mempergunakan waktu dan kesempatan untuk menulis Tafsir al-Azhar. Disebabkan oleh kesehatannya yang mulai menurun, Hamka kemudian di pindahkan ke rumah sakit Persahabatan Rawamangun Jakarta, selama perawatan di rumah sakit ini Hamka meneruskan penulisan tafsirnya.
Pada tanggal 21 Januari 1966 Hamka kembali menemukan kebebasannya setelah mendekam dalam penjara selama lebih kurang dua tahun, dengan tahanan rumah dua bulan dan tahanan kota dua bulan. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hamka untuk memperbaiki serta menyempurnakan Tafsir al-Azhar yang sudah pernah ia tulis di beberapa rumuh tahanan sebelumnya. Menurut Hamka sendiri, di setiap juz tafsirnya itu terdapat keterangan tempat penulisannya. Tetapi tidak semua keterangan tempat penulisan tafsir tercantum dalam tafsir itu. Juz 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 26, dan 30 tidak tercantum keterangan tempat penulisannya. Juz 4, 13, 14, 15, 16, 17, dan, 19 ditulis di Rumah Sakit Persahabatan Rawamangun Jakarta. Sedangkan juz 20 ditulis di Rumah Tahanan Sukabumi, juz 21, 22, 23, 24, dan sebagian juz 25 ditulis di Bungalow Harjuna Puncak, dan juz 27, 28, 29 serta sebagian juz 25 ditulis di Asrama Brimob Megamendung.
Penerbitan Tafsir al-Azhar yang pertama di terbitkan oleh Penerbit Pembimbing Masa pimpinan Haji Mahmud. Cetakan pertama yang di terbitkan oleh Pembimbing Masa, dari juz pertama sampai juz empat. Kemudian diterbitkan Juz 30 dan juz 15 sampai juz 29 oleh Pustaka Islam Surabaya. Juz 5 sampai juz 14 diterbitkan oleh Yayasan Nurul Islam Jakarta.
Setiap penafsir memiliki corak dan metode yang berbeda-beda sesuai dengan haluan pemikiran penafsirnya begitu juga dengan tafsir al-Azhar karya Buya Hamka ini beliau mempunyai cara tersendiri dalam menafsrikan al-Qur’an dan semua itu tidak terlepas dari setting sosial politik serta kecenderungan Hamka sendiri sebagai penafsir.
Metode penafsiran Hamka termasuk dalam metode tahlili, karena beliau menafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutan yang terdapat dalam mushaf al-Qur’an.

read more

Kisah-Kisah al-Qur'an

0 komentar
PANDANGAN UMUM TENTANG KISAH

A. Pengertian Kisah Secara Umum
Dalam percakapan sehari-hari kita sering mendengar kata-kata kisah. Ketika kita mendengar kata kisah tersebut yang terlintas dalam fikiran kita adalah suatu cerita yang berkenaan dengan suatu kejadian pada masa lampua tentang seseorang atau masyarakat tertentu.
Dalam bahasa Indonesia, kisah berarti cerita tentang kejadian (riwayat dalam kehidupan seseorang dan sebagainya). Kisah dalam pengertian Kesusastraan Indonesia atau Melayu yang tertera dalam Kamus Umum (yang berbahasa Indonesia) adalah cerita, penuturan tentang suatu peristiwa atau suatu kejadian ataupun tentang seseorang.
Secara etimologi kata kisah berasal dari kata bahasa arab al-Qashshu atau al-Qishshatu yang berarti berarti al-Hadis (cerita) atau al-Amr al-Hadis (peristiwa yang terjadi). Kisah adalah bentuk masdar (kata benda) dari kata Qashsha dengan arti mengikuti jejak. Allah berfirman:
فَارْتَدَّا عَلَى ءَاثَارِهِمَا قَصَصًا.
Artinya: Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.. (QS. al-Kahfi: 64)

Qashash juga berarti berita atau kisah, seperti dalam surat Yusuf ayat 111
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Artinya: Sesungguhnya pada berita mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal.(QS. Yusuf: 111)


Secara terminologi kisah dalam kesusastraan bahasa Indonesia atau Melayu dapat diartikan dengan cerita, penuturan tentang suatu peristiwa, suatu kejadian atau seseorang.
Pada tataran terminologi ini para pakar dan ulama pun banyak sekali memberikan defenisi tentang pengrtian kisah ini di antaranya menurut M. Quraish Shihab dalam tafsirnya menyebutkan kisah adalah upaya mengikuti jejak peristiwa yang benar-benar terjadi atau imajinatif, sesuai dengan urutan kejadiannya dan dengan jalan menceritakannya satu episode atau episode demi episode. Al-Qur’an tidak selalu menggunakan kata tersebut dalam arti mengisahkan satu kisah, tetapi ia juga digunakan dalam arti memberi tuntunan, baik tuntunan tersebut merupakan kisah maupun hanya pesan singkat.
Fakhruddin ar-Razi sebagaimana dikutip M. Khalafullah – mendefinisikan kisah sebagai sekumpulan cerita yang mengandung suatu pelajaran yang menunjukkan manusia kepada agama dan kebenaran serta dapat mendorongnya berbuat kebaikan. Khalafallah menyebut defenisi ini sebagai defenisis terminologi bernuansa sastra sebagai bukti dari para mufassir selangkah lebih maju dari pada para ahli bahasa yang hanya mendefinisikan kisah masih berkutat pada pembatasan waktu.
Al- Syiba’i al-Bayumi mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan kisah adalah “setiap tulisan yang bersifat kesusastraan dan indah, yang keluar dari seorang penulis dengan maksud untuk menggambarkan suatu keadaan tertentu dengan suatu cara di mana penulis melepaskan diri dari perasaan dan pikirannya, sehingga pribadinya tercermin dalam penggambaran itu yang dapat mengadakan dari orang lain yang mempunyai tulisan yang sama.
Dalam buku al-Qurán bukan Kitab Sejarah: Seni Sastra dan Morlitas dalam al-Qurán, disebutkan bahwa: “Kisah merupakan suatu karya kesusastraan yang merupakan hasil khayal pembuat kisah terhadap peristiwa-peristiwa ini yang pas atas seorang pelaku yang sebenarnya tidak ada, atau atas seorang pelaku yang benar-benar ada tetapi peristiwa-peristiwa itu tidak benar-benar terjadi atas diri pelaku tetapi dalam kisah tersebut disusun atas seni yang indah dimana sebagian didahulukan dan sebagian lagi dibuang, atau terhadap peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi ditambahkan peristiwa baru yang tidak terjadi atau dilebih-lebihkan penggambarannya sehingga pelaku-pelaku sejarah keluar dari kebenaran yang biasa dan mudah menjadi pelaku khayali.
Sedangkan menurut Abd al-Karim al-Khatib, kisah adalah keterangan sejarah yang valid jauh dari kebohongan atau mitos yang memiliki konstruksi jelas. Muhammad Kamil Hasan mengatakan, kisah merupakan sarana (wasilah) untuk mengungkap seluruh atau sebagian perikehidupan meliputi satu peristiwa atau lebih yang mempunyai hubungan runtun dan dilengkapi dengan pendahuluan dan penutup.
Sedangkang Ibrahim Anis mengatakan al-Qissah adalah hikayat panjang dalam bentuk prosa yang bersumber dari imajinasi, fakta atau keduanya dan di susun menurut kaidah-kaidah seni penulisan tertentu.

B. Pengertian Kisah Al-Qur’an
Al-Qur’an banyak sekali memuat keterangan-keterangan tentang kejadian masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat.semua keadaan ini diceritakan dan disampaikan dengan cara yang menarik dan mempesona para pembaca maupun pendengarnya. Untuk semua ini al-Qur’an memakai istilah kisah al-Qur’an.
Al-Qur’an memakai kata al-Qashash dan derivasinya sebanyak tiga puluh kali. Sepuluh dalam bentuk kata benda (Ism) dan dua puluh dalam bentuk kata kerja (Fi’il) : empat Fi’il madhi
Manna’ Khalil al-Qathan dalam bukunya Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an menyatakan bahwa “Qashash al-Qur’an adalah pemberitaan al-Qur’an tentang hal ihwal umat yang terdahulu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa yang telah terjadi . Hasby al-Shiddieqy juga memberikan defenisi yang tidak jauh berbeda, bahwa yang dimaksud dengan “Qashashul Qur’an” ialah kabar-kabar al-Qur’an tentang keadaan umat yang telah lalu dan kenabian masa terdahulu, peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Al-Qur’an melengkapi tentang keterangan-keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, keadaan negeri-negeri serta menerangkang bekas-bekas dari kaum terdahulu tersebut.
Dari definisi yang telah diberikan oleh pakar – pakar ilmu al-Qur’an di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan kisah al-Qur’an adalah kabar atau keterangan tentang hal dan ihwal umat atau suatu komunitas yang telah lalu ataupun yang akan datang, yang menjadi gambaran sebuah peristiwa, untuk dapat mengambil manfaat dan pelajaran bagi generasi yang akan datang. Semua ini disampaikan dengan gaya bahasa khas dan khusus sehingga dapat menarik perhatian orang.

C. Tujuan Kisah dalam al-Qurán
Banyaknya porsi kisah di dalam al-qurán tentu bukan tanpa maksud dan tujuan tertentu. Maka pada pembahasan ini kita akan mencoba untuk membahas tujuan kisah dalam al-Qurán. Cerita dalam al-Qurán merupakan salah satu media untuk mewujudkan tujuannya yang asli. Bagaimanapun juga al-Qurán adalah kitab suci yang mengemban misi dakwah keagamaan dan kitab yang meyakinkan objeknya. Kisah merupakan salah satu media yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah, maka ini pun yang digunakan oleh al-Qur’an guna untuk menyampaikan misinya.
Bila kita coba membuka kembali lembaran-lembaran sejarah, maka kita akan menemui bahwa kondisi masa dimana al-Qur’an diturunkan, yaitu pada saat ketika orang-orang Arab gendrung dengan syair, cerita-cerita dan lain sebagainya. Maka tidak heran jika dalam al-Qur’an itu banyak terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang kisah-kisah ataupun tentang kejadian yang menimpa umat-umat terdahulu dan itu semua diungkapkan dengan gaya bahasa yang mengandung nilai sastra yang tinggi dan serat dengan pesan-pesan moral.
Secara umum kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an bertujuan untuk kebenaran sebagai gambaran dan nasehat-nasehat bagi umat-umat sesudahnya guna untuk memudahkan mereka menuju jalan kebenaran. Kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an merupakan suatu bentuk rahmat dan karunia dari Allah kepada kita karena Dia telah menjelaskan kepada kita apa yang dapat memperbaiki kondisi kita, menunjukkan kita ke jalan kecintaan dan ridha-Nya, serta memperingatkan kita dari jalan kemungkaran, kemarahan, dan azab-Nya, memalui apa yang diceritkan-Nya tentang kisah orang-orang yang terdahulu.
Jika kita telusuri dengan lebih cermat, kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an itu memiliki banyak faedah. Secara umum faedah-faedah tersebut dapat kita sebutkan sebagai berikut:
1. Menjelaskan asas-asas dakwah menuju jalan Allah dan menjelaskan pokok-pokok syari’at yang dibawa oleh para Nabi.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ.
Artinya: Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (QS. al-Anbiya’: 25)

2. Meneguhkan hati Nabi dan hati umat Muhammad atas agama Allah, memperkuat kepercayaan orang mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya kebatilan dan para pembelanya.
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ.

Artinya: Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. (QS. Hud : 120)

3. Membenarkan para Nabi terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya
4. Menampakkan kebenaran Nabi Muhammad saw dalam dakwahnya dengan apa yang diberitakannya hal-ihwal orang-orang terdahulu di sepanjang kururn dan generasi.
5. Menyibak kebohongan ahli kitab dengan hujjah yang membeberkan keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan, dan menentang mereka dengan isi kitab mereka sendiri sebelum kitab itu diubah dan di ganti.
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلّ لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ.
Artinya: Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya`qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah: "(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar". (QS Ali Imran : 93)

6. Kisah termasuk salah satu sastra yang menarik perhatian para pendengar dan menatapkan pesan-pesan yang terkandung didalamnya ke dalam jiwa.
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ.
Artinya: Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. Yusuf : 111)

Muhammad Chirzin dalam bukunya al-Qur’an dan Ulumul Qur’an merinci tujuan dari pemaparan kisah dalam al-Qur’an sebagai berikut:
1. Menetapkan adanya wahyu dan kerasulan dalam al-Qur’an, tujuan ini diterapkan dengan jelas. (QS. Yusuf ayat 2-3 dan al-Qasas ayat 3)
2. Menerangkan bahwa semua agama dari Allah SWT mulai sejak dari masa Nabi Nuh sampai dengan masa Nabi Muhammad saw semuanya adalah kaum muslim dan mereka merupakan satu ummat, dan Tuhan Maha Esa adalah Tuhan bagi semuanya, (QS. Al-Anbiya’, ayat 51-92)
3. Menerangkan bahwa semua dasar agama itu adalah satu dan seluruhnya bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. (QS. Al-A’raf ayat 59)
4. Menerangkan bahwa cara yang ditempuh oleh Nabi-nabi dalam berdakwah itu sama dan sambutan kaum mereka terhadap dakwahnya juga serupa
5. Menerangkan dasar yang sama antara agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw, dengan agama Nabi Ibrahim as, secara khusus dengan agama-agama bangsa Israil pada umumnya, dan menerangkan bahwa hubungan ini lebih berat dari pada hubungan yang umum antara semua agama.
Dengan adanya faedah atau tujuan dari kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an sebagaimana disebutkan di atas, maka ini merupakan suatu pelajaran yang sangat berharga bagi umat setelahnya. Karena pada dasarnya al-Qur’an diturunkan kemuka bumi ini untuk memberikan petunjuk bagi kaum yang beriman. Maka sekarang jelaslah bahwa al-Qur’an mencantum kisah tujuannya adalah untuk menggambarkan apa yang terkandung di dalamnya berupa petunjuk-petunjuk untuk disebarkan kepada umat manusia.

D. Kisah Nabi Musa dan Ábdun Sholeh dalam al-Qurán
Sebagaimana telah disebutkan oleh M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah saat menafsirkan ayat 60-61 surat al-Kahfi , bahwa kisah Musa dengan hamba shaleh ini tidak disinggung dari dekat atau jauh kecuali dalam surat ini. Jadi kisah tentang Musa dengan hamba shaleh ini hanya terdapat dalam surat al-Kahfi mulai dari ayat 60 sampai ayat 82.
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا (60) فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا (61) فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ ءَاتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا (62) قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا (63) قَالَ ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلَى ءَاثَارِهِمَا قَصَصًا (64) فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا ءَاتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا (65) قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا (66) قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا(67) وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا (68) قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا (69) قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا (70) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا (71) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (72) قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرًا (73) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا لَقِيَا غُلَامًا فَقَتَلَهُ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا (74) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا(75) قَالَ إِنْ سَأَلْتُكَ عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا فَلَا تُصَاحِبْنِي قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَدُنِّي عُذْرًا(76) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا (77) قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (78) أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا (79) وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا (80) فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا (81) وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا(82)
Artinya: 60. Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun".61. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.62. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini".63. Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali."64. Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.65. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.66. Musa berkata kepada Khidhir: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" 67. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.68. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"69. Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".70. Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu". 71. Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhir melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.72. Dia (Khidhir) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku"73. Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".74. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhir membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar".75. Khidhir berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" 76. Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku".77. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhir menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu".78. Khidhir berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.79. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.80. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mu'min, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.81. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).82. Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".

read more

Mengenai Saya

Foto saya
Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
Smart, happy

Saca Firmansyah

Wilayah Pengunjung