Minggu, 28 Maret 2010

Kisah-Kisah al-Qur'an

Minggu, 28 Maret 2010 |
PANDANGAN UMUM TENTANG KISAH

A. Pengertian Kisah Secara Umum
Dalam percakapan sehari-hari kita sering mendengar kata-kata kisah. Ketika kita mendengar kata kisah tersebut yang terlintas dalam fikiran kita adalah suatu cerita yang berkenaan dengan suatu kejadian pada masa lampua tentang seseorang atau masyarakat tertentu.
Dalam bahasa Indonesia, kisah berarti cerita tentang kejadian (riwayat dalam kehidupan seseorang dan sebagainya). Kisah dalam pengertian Kesusastraan Indonesia atau Melayu yang tertera dalam Kamus Umum (yang berbahasa Indonesia) adalah cerita, penuturan tentang suatu peristiwa atau suatu kejadian ataupun tentang seseorang.
Secara etimologi kata kisah berasal dari kata bahasa arab al-Qashshu atau al-Qishshatu yang berarti berarti al-Hadis (cerita) atau al-Amr al-Hadis (peristiwa yang terjadi). Kisah adalah bentuk masdar (kata benda) dari kata Qashsha dengan arti mengikuti jejak. Allah berfirman:
فَارْتَدَّا عَلَى ءَاثَارِهِمَا قَصَصًا.
Artinya: Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.. (QS. al-Kahfi: 64)

Qashash juga berarti berita atau kisah, seperti dalam surat Yusuf ayat 111
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Artinya: Sesungguhnya pada berita mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal.(QS. Yusuf: 111)


Secara terminologi kisah dalam kesusastraan bahasa Indonesia atau Melayu dapat diartikan dengan cerita, penuturan tentang suatu peristiwa, suatu kejadian atau seseorang.
Pada tataran terminologi ini para pakar dan ulama pun banyak sekali memberikan defenisi tentang pengrtian kisah ini di antaranya menurut M. Quraish Shihab dalam tafsirnya menyebutkan kisah adalah upaya mengikuti jejak peristiwa yang benar-benar terjadi atau imajinatif, sesuai dengan urutan kejadiannya dan dengan jalan menceritakannya satu episode atau episode demi episode. Al-Qur’an tidak selalu menggunakan kata tersebut dalam arti mengisahkan satu kisah, tetapi ia juga digunakan dalam arti memberi tuntunan, baik tuntunan tersebut merupakan kisah maupun hanya pesan singkat.
Fakhruddin ar-Razi sebagaimana dikutip M. Khalafullah – mendefinisikan kisah sebagai sekumpulan cerita yang mengandung suatu pelajaran yang menunjukkan manusia kepada agama dan kebenaran serta dapat mendorongnya berbuat kebaikan. Khalafallah menyebut defenisi ini sebagai defenisis terminologi bernuansa sastra sebagai bukti dari para mufassir selangkah lebih maju dari pada para ahli bahasa yang hanya mendefinisikan kisah masih berkutat pada pembatasan waktu.
Al- Syiba’i al-Bayumi mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan kisah adalah “setiap tulisan yang bersifat kesusastraan dan indah, yang keluar dari seorang penulis dengan maksud untuk menggambarkan suatu keadaan tertentu dengan suatu cara di mana penulis melepaskan diri dari perasaan dan pikirannya, sehingga pribadinya tercermin dalam penggambaran itu yang dapat mengadakan dari orang lain yang mempunyai tulisan yang sama.
Dalam buku al-Qurán bukan Kitab Sejarah: Seni Sastra dan Morlitas dalam al-Qurán, disebutkan bahwa: “Kisah merupakan suatu karya kesusastraan yang merupakan hasil khayal pembuat kisah terhadap peristiwa-peristiwa ini yang pas atas seorang pelaku yang sebenarnya tidak ada, atau atas seorang pelaku yang benar-benar ada tetapi peristiwa-peristiwa itu tidak benar-benar terjadi atas diri pelaku tetapi dalam kisah tersebut disusun atas seni yang indah dimana sebagian didahulukan dan sebagian lagi dibuang, atau terhadap peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi ditambahkan peristiwa baru yang tidak terjadi atau dilebih-lebihkan penggambarannya sehingga pelaku-pelaku sejarah keluar dari kebenaran yang biasa dan mudah menjadi pelaku khayali.
Sedangkan menurut Abd al-Karim al-Khatib, kisah adalah keterangan sejarah yang valid jauh dari kebohongan atau mitos yang memiliki konstruksi jelas. Muhammad Kamil Hasan mengatakan, kisah merupakan sarana (wasilah) untuk mengungkap seluruh atau sebagian perikehidupan meliputi satu peristiwa atau lebih yang mempunyai hubungan runtun dan dilengkapi dengan pendahuluan dan penutup.
Sedangkang Ibrahim Anis mengatakan al-Qissah adalah hikayat panjang dalam bentuk prosa yang bersumber dari imajinasi, fakta atau keduanya dan di susun menurut kaidah-kaidah seni penulisan tertentu.

B. Pengertian Kisah Al-Qur’an
Al-Qur’an banyak sekali memuat keterangan-keterangan tentang kejadian masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat.semua keadaan ini diceritakan dan disampaikan dengan cara yang menarik dan mempesona para pembaca maupun pendengarnya. Untuk semua ini al-Qur’an memakai istilah kisah al-Qur’an.
Al-Qur’an memakai kata al-Qashash dan derivasinya sebanyak tiga puluh kali. Sepuluh dalam bentuk kata benda (Ism) dan dua puluh dalam bentuk kata kerja (Fi’il) : empat Fi’il madhi
Manna’ Khalil al-Qathan dalam bukunya Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an menyatakan bahwa “Qashash al-Qur’an adalah pemberitaan al-Qur’an tentang hal ihwal umat yang terdahulu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa yang telah terjadi . Hasby al-Shiddieqy juga memberikan defenisi yang tidak jauh berbeda, bahwa yang dimaksud dengan “Qashashul Qur’an” ialah kabar-kabar al-Qur’an tentang keadaan umat yang telah lalu dan kenabian masa terdahulu, peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Al-Qur’an melengkapi tentang keterangan-keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, keadaan negeri-negeri serta menerangkang bekas-bekas dari kaum terdahulu tersebut.
Dari definisi yang telah diberikan oleh pakar – pakar ilmu al-Qur’an di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan kisah al-Qur’an adalah kabar atau keterangan tentang hal dan ihwal umat atau suatu komunitas yang telah lalu ataupun yang akan datang, yang menjadi gambaran sebuah peristiwa, untuk dapat mengambil manfaat dan pelajaran bagi generasi yang akan datang. Semua ini disampaikan dengan gaya bahasa khas dan khusus sehingga dapat menarik perhatian orang.

C. Tujuan Kisah dalam al-Qurán
Banyaknya porsi kisah di dalam al-qurán tentu bukan tanpa maksud dan tujuan tertentu. Maka pada pembahasan ini kita akan mencoba untuk membahas tujuan kisah dalam al-Qurán. Cerita dalam al-Qurán merupakan salah satu media untuk mewujudkan tujuannya yang asli. Bagaimanapun juga al-Qurán adalah kitab suci yang mengemban misi dakwah keagamaan dan kitab yang meyakinkan objeknya. Kisah merupakan salah satu media yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah, maka ini pun yang digunakan oleh al-Qur’an guna untuk menyampaikan misinya.
Bila kita coba membuka kembali lembaran-lembaran sejarah, maka kita akan menemui bahwa kondisi masa dimana al-Qur’an diturunkan, yaitu pada saat ketika orang-orang Arab gendrung dengan syair, cerita-cerita dan lain sebagainya. Maka tidak heran jika dalam al-Qur’an itu banyak terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang kisah-kisah ataupun tentang kejadian yang menimpa umat-umat terdahulu dan itu semua diungkapkan dengan gaya bahasa yang mengandung nilai sastra yang tinggi dan serat dengan pesan-pesan moral.
Secara umum kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an bertujuan untuk kebenaran sebagai gambaran dan nasehat-nasehat bagi umat-umat sesudahnya guna untuk memudahkan mereka menuju jalan kebenaran. Kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an merupakan suatu bentuk rahmat dan karunia dari Allah kepada kita karena Dia telah menjelaskan kepada kita apa yang dapat memperbaiki kondisi kita, menunjukkan kita ke jalan kecintaan dan ridha-Nya, serta memperingatkan kita dari jalan kemungkaran, kemarahan, dan azab-Nya, memalui apa yang diceritkan-Nya tentang kisah orang-orang yang terdahulu.
Jika kita telusuri dengan lebih cermat, kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an itu memiliki banyak faedah. Secara umum faedah-faedah tersebut dapat kita sebutkan sebagai berikut:
1. Menjelaskan asas-asas dakwah menuju jalan Allah dan menjelaskan pokok-pokok syari’at yang dibawa oleh para Nabi.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ.
Artinya: Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (QS. al-Anbiya’: 25)

2. Meneguhkan hati Nabi dan hati umat Muhammad atas agama Allah, memperkuat kepercayaan orang mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya kebatilan dan para pembelanya.
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ.

Artinya: Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. (QS. Hud : 120)

3. Membenarkan para Nabi terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya
4. Menampakkan kebenaran Nabi Muhammad saw dalam dakwahnya dengan apa yang diberitakannya hal-ihwal orang-orang terdahulu di sepanjang kururn dan generasi.
5. Menyibak kebohongan ahli kitab dengan hujjah yang membeberkan keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan, dan menentang mereka dengan isi kitab mereka sendiri sebelum kitab itu diubah dan di ganti.
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلّ لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ.
Artinya: Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya`qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah: "(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar". (QS Ali Imran : 93)

6. Kisah termasuk salah satu sastra yang menarik perhatian para pendengar dan menatapkan pesan-pesan yang terkandung didalamnya ke dalam jiwa.
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ.
Artinya: Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. Yusuf : 111)

Muhammad Chirzin dalam bukunya al-Qur’an dan Ulumul Qur’an merinci tujuan dari pemaparan kisah dalam al-Qur’an sebagai berikut:
1. Menetapkan adanya wahyu dan kerasulan dalam al-Qur’an, tujuan ini diterapkan dengan jelas. (QS. Yusuf ayat 2-3 dan al-Qasas ayat 3)
2. Menerangkan bahwa semua agama dari Allah SWT mulai sejak dari masa Nabi Nuh sampai dengan masa Nabi Muhammad saw semuanya adalah kaum muslim dan mereka merupakan satu ummat, dan Tuhan Maha Esa adalah Tuhan bagi semuanya, (QS. Al-Anbiya’, ayat 51-92)
3. Menerangkan bahwa semua dasar agama itu adalah satu dan seluruhnya bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. (QS. Al-A’raf ayat 59)
4. Menerangkan bahwa cara yang ditempuh oleh Nabi-nabi dalam berdakwah itu sama dan sambutan kaum mereka terhadap dakwahnya juga serupa
5. Menerangkan dasar yang sama antara agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw, dengan agama Nabi Ibrahim as, secara khusus dengan agama-agama bangsa Israil pada umumnya, dan menerangkan bahwa hubungan ini lebih berat dari pada hubungan yang umum antara semua agama.
Dengan adanya faedah atau tujuan dari kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an sebagaimana disebutkan di atas, maka ini merupakan suatu pelajaran yang sangat berharga bagi umat setelahnya. Karena pada dasarnya al-Qur’an diturunkan kemuka bumi ini untuk memberikan petunjuk bagi kaum yang beriman. Maka sekarang jelaslah bahwa al-Qur’an mencantum kisah tujuannya adalah untuk menggambarkan apa yang terkandung di dalamnya berupa petunjuk-petunjuk untuk disebarkan kepada umat manusia.

D. Kisah Nabi Musa dan Ábdun Sholeh dalam al-Qurán
Sebagaimana telah disebutkan oleh M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah saat menafsirkan ayat 60-61 surat al-Kahfi , bahwa kisah Musa dengan hamba shaleh ini tidak disinggung dari dekat atau jauh kecuali dalam surat ini. Jadi kisah tentang Musa dengan hamba shaleh ini hanya terdapat dalam surat al-Kahfi mulai dari ayat 60 sampai ayat 82.
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا (60) فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا (61) فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ ءَاتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا (62) قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا (63) قَالَ ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلَى ءَاثَارِهِمَا قَصَصًا (64) فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا ءَاتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا (65) قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا (66) قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا(67) وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا (68) قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا (69) قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا (70) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا (71) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (72) قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرًا (73) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا لَقِيَا غُلَامًا فَقَتَلَهُ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا (74) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا(75) قَالَ إِنْ سَأَلْتُكَ عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا فَلَا تُصَاحِبْنِي قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَدُنِّي عُذْرًا(76) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا (77) قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (78) أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا (79) وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا (80) فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا (81) وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا(82)
Artinya: 60. Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun".61. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.62. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini".63. Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali."64. Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.65. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.66. Musa berkata kepada Khidhir: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" 67. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.68. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"69. Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".70. Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu". 71. Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhir melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.72. Dia (Khidhir) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku"73. Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".74. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhir membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar".75. Khidhir berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" 76. Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku".77. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhir menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu".78. Khidhir berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.79. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.80. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mu'min, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.81. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).82. Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".


Related Posts



0 komentar:

Posting Komentar


Mengenai Saya

Foto saya
Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
Smart, happy

Saca Firmansyah

Wilayah Pengunjung