Ketika kaum muda Minang sedang gencar-gencarnya melakukan gerakan pembaharuan di Minang Kabua maka ketika itu Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal dengan panggilan Hamka yang merupakan salah satu putra terbaik Minang Kabau, dilahirkan di Tanah Sirah desa Sungai Batang di tepi Danau Maninjau (Sumatra Barat) tepatnya pada tanggal 17 Februari 1908 pada tahun Masehi atau 14 Muharam 1326 H.
Ayahnya Dr. H. Abdul Karim Amrullah yang juga dikenal dengan sebutan Haji Rasul termasuk keturunan Abdul Arif gelar Tuanku Pauh Pariaman Nan Tuo, salah seorang pahlawan paderi yang juga dikenal Haji Abdul Ahmad. Dr. H. Abdul Karim Amrullah juga merupakan salah seorang ulama terkemuka yang termasuk dalam tiga serangkai yaitu Syekh Muhammad Djamil Djambek, Dr. H. Abdullah Ahmad dan Dr. H. Abdul Karim Amrullah sendiri , yang menjadi pelopor gerakan “Kaum Muda” di Minang Kabau.
Keulamaan, predikat yang telah diwarisi oleh Hamka secara geneologis ikut ditanamkan oleh andung (nenek) kepadanya, lewat cerita “sepuluh tahun” menjelang tidur. Cerita “sepuluh tahun” itu serta aktivitas ayahnya sebagai seorang ulama besar di zamannya, telah memasuki alam bawah sadar Hamka. Keulamaan ini pulalah yang dipilih oleh Hamka sebagai kawasan dimana ia memanifestasikan dirinya dalam berbagai ragam aktifitas yakni sebagai sastrawan, budayawan, ilmuwan Islam, Mubaligh, pendidik, bahkan menjadi seorang politisi.
Abdul Malik panggilan Hamka di waktu kecil, mengawali pendidikannya dengan belajar membaca al-Qurán di rumah orang tuanya sampai khatam al-Qur’an, ketika mereka sekeluarga pindah dari Meninjau ke Padang Panjang yang merupakan basis pergerakan kaum muda Minang Kabau pada tahun 1914 M. Sama dengan anak-anak sebayanya, dalam usia tujuh tahun Hamka dimasukkan ke sekolah desa.
Pada tahun 1916, ketika Zainuddin Labai el-Yunusi mendirikan sekolah Diniyah (sore), di Pasar Usang Padang panjang, Hamka dimasukkan oleh ayahnya ke sekolah ini. Pagi hari Hamka pergi belajar ke sekolah desa, sore hari belajar ke sekolah Diniyah, yang baru didirikan itu, dan malam hari belajar mengaji. Seperti itulah aktifitas kesehari dari Hamka di masa kecilnya.
Ternyata kegiatan rutin seperti ini sangat tidak menarik bagi Hamka, yang dirasakannya sebagai belenggu yang mengikat dan mengekang kebebasan masa kanak-kanaknya. Kondisi terkekang ini dan kemudian di pertajam lagi oleh sikap ayahnya yang otoriter sebagai seorang ulama yang disegani ketika itu, sehingga berakibat tumbuhnya prilaku menyimpang dalam diri Hamka, ia tumbuh menjadi seorang anak yang nakal, pernah mencuri ayam bersama teman-teman sebayanya, suka berkelahi dan terkenal sebagai anak yang pemberani di kampungnya . Hal ini dibenarkan oleh A.R. Sutan Mansur, orang yang sangat berpengaruh dalam pertumbuhan pribadi Hamka sebagai seorang mubaligh. .
Pada tahun 1918, di saat Abdul Malik, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Hamka baru berusia 10 tahun, dan beliau pada waktu itu sudah dikhitan di kampung halamannya Maninjau dan diwaktu yang sama ayahnya Syekh Abdul Karim Amrullah, kembali dari perlawatan pertamanya ke tanah Jawa, surau Jembatan Besi tempat Syekh Abdul Karim Amrullah memberikan pelajaran agama dengan sistem lama, dirobah menjadi madrasah yang kemudian dikenal dengan nama Thawalib School. Dengan harapan agar kelak anaknya menjadi ulama seperti dia, Syekh Abdul Karim Amrullah memasukkan Hamka ke Thawalib School dan berhenti dari sekolah desa.
Meskipun sistem klasikal sudah di berlakukan oleh Thawalib School namun kurikulum dan materi pembelajaran masih menggunakan cara lama. Buku-buku lama dengan keharusan menghafal masih merupakan ciri utama sekolah ini. Hal inilah yang membuat Hamka cepat bosan, meskipun ia tetap naik kelas.
Setelah belajar selama empat tahun sampai ia menduduki bangku kelas empat, mungkin karena sikap kritis dan jiwa pemberontak yang dimilikinya, Hamka tidak lagi tertarik untuk menyelesaikan pendidikan di sekolah yang didirikan oleh ayahnya itu, sementara program pendidikan di sekolah ini dirancang untuk pendidikan selama tujuh tahun.
Keadaan belajar yang diterapkan seperti di Thawalib School itu memang tidaklah menarik, karena keseriusan belajar tidak tumbuh dari dalam, tetapi dipaksakan dari luar, hal ini yang kemudian membuat Hamka melakukan pelarian sesuai dengan kejolak jiwanya yang sedang mencari jatidirinya. Keadaan inilah yang kemudian membawa Hamka menenggelamkan diri di sebuah perpustakaan yang didirikan oleh Zainuddin Labay el-Yunusi dan Bagindo Sinaro, yang diberi nama Perpustakaan Zainaro. Pelarian ini, walaupun kurang disukai oleh ayahnya, ternyata ini merupakan pelarian yang positif . Karena setelah asyik menenggelamkan diri dengan membaca buku-buku cerita dan sejarah di perpustakaan tersebut telah membentuk kegairahan tertentu bagi Hamka dan banyak memberikan andil bagi perkembangan imajinasi dimasa kanak-kanak serta kemampuan bercerita dan menulis di belakang hari.
Pada masa-masa pendidikannya Hamka juga pernah dikirim untuk belajar di sekolah Syekh Ibrahim Mûsâ Parabek, di Parabek Bukit Tinggi, namun ini juga tidak berlansung lama karena pada tahun 1924, Hamka meninggalkan Ranah Minang dan berangkat ke Yogyakarta.
Secara keseluruahan masa pendidikan formal yang pernah di tempuh Hamka hanya sekitar tujuh tahun, yaitu antara tahun 1916 sampai tahun 1924. dimana pada masa-masa itu beliau pernah masuk sekolah desa, juga belajar pendidikan agama pada Diniyah School dan Sumatra Thawalib Padang Panjang dan Surau Inyiak Parabek di Bukit Tinggi, disamping itu Hamka juga sempat belajar dengan ulama-ulam besar seperti ayahnya sendiri, kemudian dengan Engku Mudo Abdul Hamid, Zainuddin Labay el-Yunusi dan Syekh Ibrahim Musa Parabek.
Kunjungan Hamka ke tanah Jawa yang relatif singkat itu, lebih kurang satu tahun, dalam pengakuan Hamka perjalanan beliau itu mampu memberikan semangat baru baginya dalam mempelajari Islam. Rantua (negeri kunjungan) pengembaraan pencarian ilmu ditanah jawa itu, yang beliau mulai dari Yogyakarta dan Pekalongan. Lewat Ja’far Amrullah pamannya, Hamka kemudian mendapat kesempatan mengikuti kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan Syarikat Islam.
Dalam kesempatan itu pula Hamka bertemu dengan Ki Bagus Hadikusumo, dan darinya Hamka mendapatkan pelajaran tafsir al-Qur’an. Ia juga bertemu dengan HOS Cokroaminoto dan mendengarkan ceramahnya tentang islam dan Sosialisme. Di samping itu juga berkesempatan bertukar pikiran dengan dengan beberapa tokoh penting lainnya seperti Haji Fakhruddin dan Syamsul Ridjal.
2. Tafsir al-Azhar
Tafsir al-Azhar berasal dari kuliah subuh yang diberikan oleh Buya Hamka di mesjid Agung al-Azhar sejak tahun 1959, yang ketika itu belum bernama al-Azhar. Cermah-ceramah Hamka sehabis shalat shubuh di Mesjid al-Azhar yang mengupas tafsir al-Qur’an dimuat secara teratur di majalah Gema Islam, tanpa diduga sebelumnya pada hari Senin 12 Ramdhan 1983 yang bertepatan dengan tanggal 27 Januari 1964, sesaat setelah Hamka memberikan pengajian di hadapan lebih kurang 100 orang kaum ibu di mesjid al-Azhar, ia di tangkap oleh penguasa orde lama lalu di jebloskan kedalam penjara. Sebagai tahanan politik Hamka di tempatkan di beberapa rumah peristirahatan di kawasan puncak, yakni bungalow Herlina, Harjuna, bungalow Brimob Megamendung dan kamar tahanan polisi Cimacan, di rumah tahanan inilah Hamka mempergunakan waktu dan kesempatan untuk menulis Tafsir al-Azhar. Disebabkan oleh kesehatannya yang mulai menurun, Hamka kemudian di pindahkan ke rumah sakit Persahabatan Rawamangun Jakarta, selama perawatan di rumah sakit ini Hamka meneruskan penulisan tafsirnya.
Pada tanggal 21 Januari 1966 Hamka kembali menemukan kebebasannya setelah mendekam dalam penjara selama lebih kurang dua tahun, dengan tahanan rumah dua bulan dan tahanan kota dua bulan. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hamka untuk memperbaiki serta menyempurnakan Tafsir al-Azhar yang sudah pernah ia tulis di beberapa rumuh tahanan sebelumnya. Menurut Hamka sendiri, di setiap juz tafsirnya itu terdapat keterangan tempat penulisannya. Tetapi tidak semua keterangan tempat penulisan tafsir tercantum dalam tafsir itu. Juz 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 26, dan 30 tidak tercantum keterangan tempat penulisannya. Juz 4, 13, 14, 15, 16, 17, dan, 19 ditulis di Rumah Sakit Persahabatan Rawamangun Jakarta. Sedangkan juz 20 ditulis di Rumah Tahanan Sukabumi, juz 21, 22, 23, 24, dan sebagian juz 25 ditulis di Bungalow Harjuna Puncak, dan juz 27, 28, 29 serta sebagian juz 25 ditulis di Asrama Brimob Megamendung.
Penerbitan Tafsir al-Azhar yang pertama di terbitkan oleh Penerbit Pembimbing Masa pimpinan Haji Mahmud. Cetakan pertama yang di terbitkan oleh Pembimbing Masa, dari juz pertama sampai juz empat. Kemudian diterbitkan Juz 30 dan juz 15 sampai juz 29 oleh Pustaka Islam Surabaya. Juz 5 sampai juz 14 diterbitkan oleh Yayasan Nurul Islam Jakarta.
Setiap penafsir memiliki corak dan metode yang berbeda-beda sesuai dengan haluan pemikiran penafsirnya begitu juga dengan tafsir al-Azhar karya Buya Hamka ini beliau mempunyai cara tersendiri dalam menafsrikan al-Qur’an dan semua itu tidak terlepas dari setting sosial politik serta kecenderungan Hamka sendiri sebagai penafsir.
Metode penafsiran Hamka termasuk dalam metode tahlili, karena beliau menafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutan yang terdapat dalam mushaf al-Qur’an.
2 komentar:
Trimakasih atas tulisanya.
salam.mohon share ya -)
Posting Komentar