Pluralisme agama masih menjadi sesuatu yang menarik diperdebatkan. Pluralisme, yang berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, lantas dipahami bahwa semua agama adalah sama. Pendapat ini kemudian ditolak oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan kalangan Islam lain. Tapi apa yang salah dengan Pluralisme Agama? “Karena agama jelas tidak sama. Kalau agama sama, banyak ayat Al-Quran yang harus dihapus,” ujar Prof Dr Amien Rais.
Baca pikiran Pluralisme Agama oleh Amien Rais. Wawancara Rasul Karim & Yudi Rachman dari Majalah Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah Edisi Maret 2010.
Apa pendapat Anda mengenai aliran pluralisme?
Akhir-akhir ini saya melihat istilah pluralisme yang sesungguhnya indah dan anggun justru telah ditafsirkan secara kebablasan. Sesungguhnya toleransi dan kemajemukan telah diajarkan secara baku dalam Al-Quran. Memang Al-Quran mengatakan hanya agama Islam yang diakui di sisi Allah, namun koeksistensi atau hidup berdampingan secara damai antar-umat beragama juga sangat jelas diajarkan melalui ayat, lakum diinukum waliyadin” (Bagiku agamaku dan bagimu agamamu). Dalam istilah yang lebih teknis, wishfull coexistent among religions, atau hidup berdamai antarumat beragama di muka bumi.
Adakah yang keliru dari aliran pluralisme?
Nah, karena itu tidak ada yang salah kalau misalnya seorang Islam awam atau seorang tokoh Islam mengajak kita menghormati pluralisme. Karena tarikh Nabi sendiri itu juga penuh ajaran toleransi antarberagama. Malahan antar-umat beragama boleh melakukan kemitraan di dalam peperangan sekalipun. Banyak peristiwa di zaman Nabi ketika umat Nasrani bergabung dengan tentara Islam untuk menghalau musuh yang akan menyerang Madinah.
Jadi apa yang dibablaskan?
Saya prihatin ada usaha-usaha ingin membablaskan pluralisme yang bagus itu menjadi sebuah pendapat yang ekstrim, yaitu pada dasarnya mereka mengatakan agama itu sama saja. Mengapa sama saja? Karena tiap agama itu mencintai kebenaran. Dan tiap agama mendidik pemeluknya untuk memegang moral yang jelas dalam membedakan baik dan buruk. Saya kira kalau seorang muslim sudah mengatakan bahwa semua agama itu sama, maka tidak ada gunanya shalat lima waktu, bayar zakat, puasa Ramadhan, pergi haji, dan sebagainya.
Karena agama jelas tidak sama. Kalau agama sama, banyak ayat Al-Quran yang harus dihapus. Nah, kalau sampai ajaran bahwa “semua agama sama saja” diterima oleh kalangan muda Islam; itu artinya, mereka tidak perlu lagi shalat, tidak perlu lagi memegang tuntunan syariat Islam. Kalau sampai mereka terbuai dan terhanyutkan oleh pendapat yang sangat berbahaya ini, akhirnya mereka bisa bergonta-ganti agama dengan mudah, seperti bergonta-ganti celana dalam atau kaos kaki.
Apakah kebablasan pluralisme karena faktor kesengajaan atau rekayasa?
Saya kira jelas sekali adanya think tank atau dapur-dapur pemikiran yang sangat tidak suka kepada agama Allah, kemudian membuat bualan yang kedengarannya enak di kuping: semua agama itu sama. Jika agama itu sama, lantas apa gunanya ada masjid, ada gereja, ada kelenteng, ada vihara, ada sinagog, dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan think-tank ?
Saya yakin think tank itu ada di negara-negara maju yang punya dana berlebih, punya kemewahan untuk memikirkan bagaimana melakukan ghazwul fikri (perang intelektual terhadap dunia Islam). Misalnya, kepada dunia Islam ditawarkan paham lâ diniyah sekularisme yang menganggap agama tidak penting, termasuk di dalamnya pluralisme, yang kelihatannya indah, tapi ujung-ujungnya adalah ingin menipiskan akidah Islam supaya kemudian kaum muslim tidak mempunyai fokus lagi. Bayangkan kalau intelektual generasi muda Islam sudah tipis imannya, selangkah lagi akan menjadi manusia sekuler, bahkan tidak mustahil mereka menjadi pembenci agamanya sendiri.
Sepertinya aliran pluralisme itu sudah masuk ke kalangan muda Muhammadiyah, pendapat Anda?
Kalau sampai aliran pluralisme masuk ke kalangan muda Muhammadiyah, ini musibah yang perlu diratapi. Oleh karena itu, saya menganjurkan sebelum mereka membaca buku-buku profesor dari Amerika dan Eropa, bacalah Al-Quran terlebih dahulu. Saya sendiri yang sudah tua begini, 66 tahun, sebelum saya membaca buku-buku Barat, baca Al-Quran dulu. Karena orang yang sudah baca Al-Quran, dia akan sampai pada kesimpulan bahwa berbagai ideologi yang ditawarkan oleh manusia seperti mainan anak-anak yang tidak berbobot. Jika meminjam istilah Sayyid Quthb, seorang yang duduk di bawah perlindungan Al-Quran ibarat sedang duduk di bukit yang tinggi, kemudian melihat anak-anak sedang bermain-main dengan mainannya. Orang yang sudah paham Al-Quran akan bisa merasakan bahwa ideologi yang sifatnya man-made, buatan manusia, itu hanya lucu-lucuan saja. Hanya menghibur diri sesaat, untuk memenuhi kehausan intelektual ala kadarnya. Setelah itu bingung lagi.
Kenapa paham pluralisme itu bisa masuk ke kalangan muda Muhammadiyah? Apa karena Muhammadiyah terlalu terbuka atau karena tidak adanya sistem kaderisasi?
Hal ini perlu dipikirkan oleh pimpinan Muhammadiyah. Saya melihat, banyak kalangan muda Muhammadiyah yang sudah eksodus. Kadang-kadang masuk ke gerakan fundamentalisme, tapi juga tidak sedikit yang masuk Islam Liberal. Islam yang sudah melacurkan prinsipnya dengan berbagai nilai-nilai luar Islam. Hanya karena latah. Karena ingin mendapatkan ridho manusia, bukan ridho Ilahi. Oleh karena itu, lewat majalah Tabligh, saya ingin mengimbau kepada anak-anak saya, calon-calon intelektual Muhammadiyah, baik putra maupun putri, agar menjadikan Al-Quran sebagai rujukan baku . Saya pernah tinggal di Mesir selama satu tahun. Saya pernah diberitahu oleh doktor Muhammad Bahi, seorang intelektual Ikhwan, ketika saya bersilaturahmi ke rumah beliau, beliau mengatakan, “Hei kamu anak muda, kalau kamu kembali ke tanah airmu, kamu jangan merasa menjadi pejuang Muslim kalau kamu belum sanggup membaca Al-Quran satu juz satu hari.” Waktu itu saya agak tersodok juga, tetapi setelah saya pikirkan, memang betul. Kalau Al-Quran sebagai wahyu ilahi yang betul-betul membawa kita kepada keselamatan dunia-akhirat, kita baca, kita hayati, kita implementasikan, kehidupan kita akan terang benderang. Tapi kalau pegangan kita pada Al-Quran itu setengah hati. Kemudian dikombinasikan dengan sekularisme, dengan pluralisme tanpa batas, dengan eksistensialisme, bahkan dengan hedonisme, maka kehidupan kita akan rusak. Sehingga betul seperti kata pendiri Muhammadiyah dalam sebuah ceramah beliau, “Ad-dâ’u musyârokatullâhi fii jabarûtih”. Namanya penyakit sosial, politik, hukum, dan lain-lain, itu sejatinya bersumber kepada menyekutukan Allah dalam hal kekuasaannya. Obatnya bukan menambah penyakit, yakni dengan isme-isme yang kebablasan, tapi obatnya itu, “adwâ’uhâ tauhîddullâhi haqqa”. Obatnya adalah tauhid dengan sungguh-sungguh. Jadi, saya juga ingat dengan kata-kata Mohammad Iqbal: “The sign of a kafir is that he is lost in the horizons. The sign of a Mukmin is that the horizons are lost in him.” Saya pernah termenung beberapa hari setelah membaca pernyataan Mohammad Iqbal yang sangat tajam itu. Karena betapa seorang mukmin akan begitu jelas, begitu paham, begitu terang benderang memahami persoalan dunia. Sedangkan orang kafir, bingung dan tersesat.
Sepertinya Muhamadiyah mulai terseret arus pluralisme, contohnya pada saat peluncuran novel Si Anak Kampoeng. Penulisnya mengatakan, sebagian dari keuntungan penjualan akan digunakan untuk membentuk Gerakan Peduli Pluralisme, pandangan Anda?
Saya tidak akan mengomentari apa dan siapa. Cuma adik saya yang anggota PP Muhammadiyah, pernah memberikan sedikit kriteria atau ukuran yang sangat bagus. Dia bilang begini, “Kalau orang Muhammadiyah sudah tidak pernah bicara tauhid dan malah bicara hal-hal di luar tauhid, apalagi kesengsem dengan pluralisme, maka perlu melakukan koreksi diri.” Apakah itu tukang sapu di kantor Muhammadiyah, apakah tukang pembawa surat di kantor Muhammadiyah, apakah profesor botak, sama saja. Kalau sudah tidak kerasan berbicara tauhid, mau dikemanakan Muhammadiyah? Muhammadiyah ini bisa bertahan sampai satu abad, tetap kuat, tidak pikun, dan masih segar, karena tauhidnya. Implementasi tauhidnya di bidang sosial, pendidikan, hukum, politik, itu yang menjadikan Muhammadiyah perkasa dan tidak terbawa arus.
Wawancara: Rasul Karim & Yudi Rachman (Majalah Tabligh)
0 komentar:
Posting Komentar