Pada tahun ini perbedaan itu kembali terjadi dalam penetapan 10 Zulhijjah atau Hari Raya Idul Adha, Muhammadiyah jauh-jauh hari telah menetapkan bahwa 10 Zulhijjah 1431H jatuh pada tanggal 16 November 2010 sementara pemerintah setelah MUI melakukan sidang Isbath, pada hari Selasa tanggal 7 November 2010 mengumumkan melalui media bahwa pemerintah menetapkan 10 Zulhijjah 1431H jatuh pada tanggal 17 November 2010.
Setelah pemerintah menetapkan 10 Zulhijjah 1431H jatuh pada tanggal 17 November 2010 melalui media massa pada tanggal 7 November 2010 pukul 10.39 WIB sebuah sms masuk ke hp saya yang berbunyi: “Bismillahirrahmanirrahim! Ustaz, kenapa Muhammadiyah berpegang pada Hisab Wujudul Hilal padahal tidak sesuai dengan wahyu. Abu Umar Abdillah mengatakan wahyu harus mengatur sciens jangan dibalik durhaka. Semoga anggota Muhammadiyah tidak taqlid kepada hisab yang tidak sesuai wahyu. Allah MURKA!!!” diakhir sms nya beliau menyebutkan gelarnya Dr beserta namanya (sengaja tidak saya sebutkan namanya) beliau berasal dari Medan katanya”. Waktu istirahat setelah sholat Zhuhur saya membalas smsnya dengan menyebutkan beberapa ayat al- Qur’an yang berbicara tentang hisab, setelah itu beliau membalas “Al-Qur’an keterangannya mujmal karena itu diperjelas oleh sunnah Rasul yang mulia itu. Tanpa sunnah terjebak INKAR SUNNAH” setelah membaca balasan sms nya itu saya terfikir untuk menjawab persoalan ini melalui tulisan saja karena kalau saya balas via sms akan sulit untuk difahami, tidak efektif dan hanya akan menimbulkan perdebatan yang tidak berujung, yang pada akhirnya bisa menimbulkan salah pengertian, walaupun karena penasarannya beliau sampai 4x mengirimkan smsnya yang kedua itu kepada saya namun saya tetap tidak menjawabnya.
Melalui tulisan ini saya akan coba untuk menjelaskan kenapa dalam 10 tahun terakhir ini sering terjadi perbedaan dalam menetapkan awal Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Metode dalam penentuan awal bulan hijriyah, khususnya pada tiga bulan yang berhubungan dengan ibadah umat Islam, yaitu Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah, sampai batas tertentu adalah cerminan dari wajah fikih Islam yang plural. Metode yang digunakan dalam menetapkan awal bulan hijriyah ada dua yaitu metode atau sistem Rukyah bil Fi’li dan metode atau sistem Hisab. Metode atau sistem hisab terbagi pula menjadi pertama Hisab Urfi yaitu sistem perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara kovensional yaitu secara selang seling 30 hari (bulan gasal) dan 29 hari (bulan genap). Kedua Hisab Hakiki, sistem perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Jumlah hari setiap bulan tidak tetap (tidak harus selang-seling).
Hisab Hakiki juga memiliki beberapa aliran yaitu:
1. Ijtima’ qabla ghurub ini dipakai oleh Muhammadiyah
2. Ijtima’ qabla fajri dipakai oleh Arab Saudi
3. Posisi hilal diatas ufuk hakiki dipakai oleh Muhammadiyah
4. Posisi hilal diatas ufuk hissi
5. Posisi hilal diatas ufuk mar’i dipakai oleh NU
6. Posisi hilal yang mungkin dapat di rukyah (Imaknur rukyah) ini yang dipakai oleh MABIMS
Karena perbedaan dalam aliran hisab inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam penetapan awal Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Muhammadiyah pada Munas Tarjih tahun 2000 di Jakarta munculkan kecendrungan yang lebih mengakomodir hisab secara lebih jauh sehingga lahirlah keputusan tarjih yang meletakkan hisab sejajar dengan rukyah. Muhammadiyah dengan semangat pembaharuan (tajdid) nya meyakini bahwa ilmu pengetahuan adalah salah satu wasîlah yang bisa digunakan untuk beribadah, sehingga dimensi normatif dari nash-nash al-Quran bisa selalu dikaitkan dengan dimensi ideal peradaban manusia. Sistem Hisab Hakiki sesuai dalil al-Qur’an surat al-Rahman ayat 5 disebutkan: al-Syamsu wal Qamaru bi husbân (matahari dan bulan bisa dihitung). Ayat ini bukan hanya pernyataan deklaratif saja (khabar), karena tanpa keterangan ilahi pun manusia akan tahu bahwa kedua benda langit itu bisa dihisab. Ayat ini mengandung pesan imperatif (thalab insyai) bahwa hendaknya posisi bulan dan matahari dihitung dan hendaknya hasil perhitungan itu dimanfaatkan untuk kepentingan manusia dalam berakifitas. Jika kita membaca pesan-pesan al-Quran dengan seksama, terdapat banyak ayat yang berisi penekanan arti penting pengorganisasian waktu secara keseluruhanan. Dan dalam ayat lain surat al-Anam ayat 96 disebutkan; Fâliqu'l isbâhi wa ja'alal layla sakanaw was syams wal-qamara husbâna, dzâlika taqdîru'l azîzil 'alîm artinya Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
Aliran Hisab Hakiki yang dipakai oleh Muhammadiyah adalah hitungan yang berdasarkan kepada peredaran bulan dan bumi yang sebenar-benarnya dan setepat-tepatnya dengan prinsip jika pada tanggal 29 dalam penanggalan hijriyah atau hari terjadinya
1. Ijtimak/konjungsi qabla ghurub (setelah matahari tenggelam)
2. Bulan terbenam setelah matahari maka keesokan harinya telah dinyatakan sebagai awal bulan hijriyah
3. Posisi hilal diatas ufuk hakiki (plus)
Sementara aliran hisab yang pakai oleh MABIMS adalah Posisi hilal yang mungkin dapat di rukyah (Imaknur rukyah) adalah tinggi bulan minimum 2 derajat saat maghrib menurut para ahli hilal hanya dapat dilihat dengan menggunakan teropong bintang bukan dengan mata telanjang, jarak bulan-matahari minimum 3 derajat, saat maghrib dan umur bulan saat maghrib minimal 8 jam lepas ijtimak.
Sementara Posisi hilal diatas ufuk mar’i yang dipakai oleh NU hanya dapat terlihat jika jarak sudut bulan – matahari sebesar tujuh derajat.
Kesimpulannya, apabila hilal berada pada posisi diatas nol (0) derajat dan dibawah 2 derajat, maka akan terjadi perbedaan antara Muhammadiyah dengan Pemerintah dan NU baik itu dalam penetapan awal Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Setelah kita mengetahui dimana letak perbedaannya, kita boleh memilih mana yang kita yakini paling benar tetapi jangan pula kita mengatakan yg lain salah, tidak memiliki dalil yang kuat, berlawanan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Karena perbedaan dalam hal hilal ini bukanlah mengenai benar atau salah tapi mengenai mana yang paling akurat dan paling benar. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan oleh karena itu mari kita sikapi perbedaan ini dengan arif dan bijaksana agar apa yang dikatakan oleh Rasulullah bahwa perbedaan itu adalah rahmah dapat kita wujudkan
1 komentar:
Meskipun perbedaan pendapat itu sah-sah saja, tetapi adanya kesatuan pendapat rasanya lebih menguntungkan. Sebab, di lapisan awam yg tidak paham benar penyebab perbedaan itu menjadi jengkel. Bisa saja terjadi antara anak dan orang tua atau istri dan suami menjadi kurang harmonis karena beda pilihan anutannya.
Posting Komentar